INformasinasional.com, BONE – Aksi penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, berubah menjadi malam penuh ketegangan. Ribuan massa yang awalnya hanya ingin menyuarakan keresahan rakyat, mendadak berujung ricuh setelah polisi menyatakan aksi tersebut disusupi kelompok anarko.
Ketegangan pecah disekitar Kantor Bupati Bone pada Selasa (19/8/2025) malam. Polisi dan massa bentrok hingga dini hari. Suasana kota yang biasanya tenang berubah mencekam, dentuman gas air mata dan teriakan massa terdengar di berbagai sudut kota.
Kapolres Bone, AKBP Sugeng Setyo Budhi, menegaskan bahwa biang kerok kericuhan bukan berasal dari massa penolak PBB, melainkan kelompok anarko yang diduga datang dari luar daerah.
“Yang memicu terjadinya bentrokan, disusupi oleh kelompok anarko,” tegas Sugeng.
Ia memastikan, koordinator aksi resmi sudah membubarkan diri sejak sore. Namun massa yang bertahan hingga tengah malam adalah kelompok anarko yang sengaja membuat situasi tidak kondusif.
Sugeng juga mengungkapkan, sejumlah orang yang diduga anarko sudah diamankan. “Mereka bukan warga Bone, tapi datang dari luar. Kita masih dalami tujuan dan jaringan mereka,” ungkapnya.
Meski aparat kepolisian berusaha membubarkan massa dengan berbagai cara, bentrokan tetap berlangsung hingga mendekati pukul 24.00 Wita. Api sempat terlihat membakar ban bekas, sementara sejumlah fasilitas umum rusak akibat lemparan batu.
Ditengah eskalasi yang terus meningkat, Pemkab Bone akhirnya mengumumkan keputusan mengejutkan. Sekda Bone, Andi Saharuddin, menyampaikan bahwa kenaikan tarif PBB-P2 yang mencapai 65 persen resmi ditunda setelah Pemkab berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
“Penyesuaian 65 persen ini ditunda dulu. Sesuai arahan pemerintah pusat, kita akan kaji ulang kembali,” ujar Saharuddin.
Langkah tersebut dianggap sebagai bentuk “takluknya” pemerintah pada desakan publik. Gelombang protes sejak awal dinilai wajar, karena kebijakan kenaikan pajak dilakukan tanpa kajian matang di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih lesu pascapandemi dan krisis harga kebutuhan pokok.
Meski penundaan telah diumumkan, massa menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal janji pemerintah. “Kami tidak ingin kebijakan ini hanya ditunda, tapi harus dibatalkan permanen,” teriak salah satu orator dari atas mobil komando.
Peristiwa ini menandai salah satu gelombang perlawanan terbesar rakyat Bone dalam beberapa tahun terakhir. Dari sekadar isu pajak, kini aksi itu berkembang menjadi simbol penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap menekan rakyat kecil.
Meski dicoreng dengan penyusupan anarko, pesan utama aksi tetap bergema: rakyat menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. “Rakyat sudah jenuh, jangan jadikan pajak sebagai alat memeras masyarakat,” ujar seorang warga yang ikut aksi.
Situasi akhirnya mereda menjelang dini hari setelah aparat berhasil membubarkan massa. Namun, luka sosial dan politik akibat peristiwa tersebut masih terasa. Publik Bone kini menunggu, apakah pemerintah benar-benar serius mengkaji ulang tarif PBB, atau hanya sekadar menenangkan gejolak sementara.
Yang jelas, ricuhnya demo PBB di Bone telah meninggalkan catatan penting: rakyat bisa memaksa pemerintah mengubah kebijakan, sekalipun harus melalui jalan berliku dan penuh bentrokan.*