INformasinasional.com – JAKARTA.Kasus kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di perairan pesisir utara Tangerang, Banten, terus menjadi sorotan publik. Pasalnya, sertifikat tersebut mencakup wilayah laut—area yang seharusnya menjadi aset negara dan tidak diperuntukkan bagi kepemilikan pribadi maupun korporasi.
Jejak Korporasi dan Tokoh Berpengaruh
Salah satu perusahaan yang tercatat sebagai pemilik SHGB adalah PT Cahaya Inti Sentosa, perusahaan real estate dengan modal Rp89,1 miliar. Menariknya, perusahaan ini dimiliki oleh konsorsium besar, termasuk PT Agung Sedayu Group, PT Tunas Mekar, dan pengembang ternama Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, dengan Nono Sampono, mantan pimpinan DPD RI dan eks Kepala Basarnas, sebagai direktur utamanya.
Tak hanya itu, terdapat juga PT Intan Agung Makmur yang menguasai 234 bidang tanah dengan status SHGB. Berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM, perusahaan ini adalah hasil patungan PT Kusuma Anugerah Abadi dan PT Inti Indah Raya. Nama-nama besar seperti Freddy Numberi—purnawirawan TNI yang pernah menjabat Menteri Perhubungan—dan Belly Djaliel turut tercatat sebagai komisaris dan direktur di perusahaan afiliasi mereka, PT Multi Artha Pratama, anak usaha Agung Sedayu Group.
Polemik Penerbitan SHGB di Atas Laut
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa SHGB di kawasan ini diterbitkan kepada dua perusahaan besar, yakni PT CL dan PT MAN. SHGB ini bahkan meliputi area seluas lebih dari 500 hektar, yang sebagian besar berada di luar garis pantai.
“Ini di laut ada SHGB yang luasnya itu 509,795 hektar. Inisial PT CL, 78 bidang, luasnya 90 hektar,” ujar Nusron dalam rapat bersama Komisi II DPR RI, Kamis (30/1/2025).
Namun, Nusron menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN tidak bisa serta-merta membatalkan SHGB tersebut karena keterbatasan kewenangan. Pembatalan hanya bisa dilakukan jika sertifikat berusia di bawah lima tahun. Untuk SHGB yang sudah lebih lama, kementerian harus menempuh jalur hukum dengan berkonsultasi ke Mahkamah Agung (MA).
Kejaksaan Agung Turun Tangan
Melihat adanya potensi pelanggaran hukum, Kejaksaan Agung RI mulai melakukan penelusuran terkait dugaan tindak pidana korupsi di balik penerbitan sertifikat ini. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya tengah mengumpulkan data dan menganalisis indikasi adanya pelanggaran.

“Kami secara proaktif melakukan kajian dan pendalaman apakah ada informasi atau data yang mengindikasikan peristiwa pidana terkait tindak pidana korupsi,” jelas Harli, Sabtu (25/1/2025).
Nama AHY Terseret dalam Pusaran Isu
Kontroversi ini semakin memanas setelah terungkap bahwa sebagian besar SHGB tersebut diterbitkan pada masa jabatan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri ATR/BPN, yakni pada tahun 2024. Berdasarkan dokumen di Kementerian ATR/BPN, ada sekitar 243 SHGB yang diterbitkan dalam periode tersebut.

Namun, AHY membantah memiliki keterlibatan langsung dalam penerbitan SHGB di wilayah laut Tangerang. “Saya tidak tahu, dan tentunya ini sudah terjadi sebelumnya. Untuk yang HGB itu kan 2023, dan saya baru masuk pada 2024,” ujar AHY di Istana Kepresidenan, Selasa (21/1/2025).
Kuasa Hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, menegaskan bahwa penerbitan SHGB tersebut telah mengikuti prosedur yang berlaku. Bahkan, perusahaan telah mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) sebagai bagian dari legalitas penggunaan lahan.
Mencari Titik Terang
Hingga saat ini, misteri mengenai proses penerbitan SHGB di kawasan pagar laut Tangerang masih belum terpecahkan sepenuhnya. Apakah sertifikat tersebut diterbitkan dengan prosedur yang benar? Siapa saja pejabat yang terlibat? Dan apakah ada indikasi korupsi di balik transaksi bernilai miliaran rupiah ini?
Publik berharap agar proses penyelidikan berjalan transparan dan tuntas, mengingat kasus ini bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga menyangkut kedaulatan negara atas aset strategisnya.*(EDITOR.ID)