INformasinasional.com – Pemalang.
Di tengah hamparan sawah yang menguning di Desa Kebagusan, Kecamatan Ampelgading, tampak sosok Kasturi, seorang buruh tani berusia 65 tahun, tengah berjibaku memunguti sisa-sisa padi yang tertinggal. Aktivitas yang dikenal dengan istilah Nyesrek—atau Gampung dalam bahasa warga setempat—menjadi rutinitas yang sarat makna bagi warga seperti Kasturi setiap kali musim panen tiba.
Nyesrek secara harfiah berarti memungut sisa hasil panen yang tercecer setelah proses panen utama selesai. Kegiatan ini menjadi ruang pengharapan bagi para buruh tani, khususnya perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mereka diizinkan oleh pemilik lahan untuk mengumpulkan gabah yang tertinggal, sebagai bentuk kebersamaan dan saling membantu di pedesaan.
“Dulu saat masih pakai blower, dari pagi sampai sore saya bisa dapat 10 hingga 15 kilogram gabah, tergantung luas sawahnya,” kenang Kasturi pada Senin (14/4).[irp posts=”39319″ ]
Namun, kehadiran mesin pemanen modern seperti Kombat perlahan mengubah kondisi tersebut. Mbah Kuneng (70), buruh Nyesrek dari Desa Temuireng, Kecamatan Petarukan, merasakan dampaknya secara langsung.
“Dulu saya bisa kumpulkan satu karung besar sampai 25 kilogram gabah. Sekarang? Dapat 4 kilo saja sudah syukur. Wajah pun hitam kelam karena panas,” tuturnya lirih.
Meski begitu, para pemilik sawah tidak merasa dirugikan. Sebaliknya, mereka menganggap kegiatan ini sebagai wujud berbagi rezeki.
“Ya, anggap saja berbagi kebahagiaan. Biar mereka juga merasakan hasil panen, walau tidak seberapa,” ujar Redjo, pemilik lahan di Kebagusan.
Pada musim panen kali ini, belasan buruh tani terlihat memungut gabah di lahan seluas 5 hektare. Salah satunya adalah Sinah (75), yang telah puluhan tahun menjalani pekerjaan ini dengan ketekunan luar biasa.
“Nyesrek itu momen berharga. Kadang bisa bawa pulang 5 kilogram. Cukup untuk makan satu bulan, kadang juga saya jual,” ungkapnya sambil tersenyum.
Lebih dari sekadar mencari gabah, Nyesrek juga menjadi ajang kebersamaan. Di tengah terik dan lelah, mereka saling membantu dan bercanda. Kisah hidup, tawa, hingga duka kerap mengalir di antara celah batang padi yang tersisa.
Tradisi ini menjadi potret ketulusan dan ketangguhan masyarakat tani Pemalang. Di balik butiran gabah yang dikumpulkan, tersimpan cerita tentang kerja keras, solidaritas, dan rasa syukur yang tak lekang oleh waktu.
Reporter: Ragil Surono