INformasinasional.com – LANGKAT. Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menyimpan potensi ekologis luar biasa melalui kawasan hutan mangrove pesisir yang masih luas. Berdasarkan data terkini, total luas mangrove di wilayah ini mencapai 20.823 hektar, dengan 14.726 hektar di antaranya merupakan mangrove lebat yang berperan penting dalam menyerap emisi karbon dioksida (CO₂). Sayangnya, kawasan ini kini menghadapi tekanan serius akibat alih fungsi lahan menjadi tambak dan perkebunan kelapa sawit ilegal.
Ketua Yayasan Pelestari Alam Indonesia (YPAI), Tengku Candya Effendi Hamzah ST, atau akrab disapa Tengku Kendy Hamzah, menyampaikan kekhawatirannya usai bertemu Bupati Langkat, H. Syah Afandin, SH, di Stabat pada Jumat (2/5/2025). Ia menegaskan, sebagian besar kawasan mangrove di Langkat telah rusak atau berubah fungsi, termasuk menjadi tanah timbul, lahan terbuka, kawasan terabrasi, dan yang paling mencolok: perkebunan kelapa sawit ilegal.
[irp posts=”39820″ ]
“Perkebunan kelapa sawit di kawasan pesisir Langkat, khususnya di Kecamatan Secanggang, diketahui berada di kawasan konservasi (KSDA) namun tetap beroperasi tanpa izin. Pemerintah memang telah menanganinya secara hukum, namun hingga kini masih dikuasai oleh mafia tanah,” ujar Tengku Kendy.
Ia menambahkan, kasus serupa juga terjadi di Kecamatan Tanjung Pura dan Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu. Di kawasan ini, mangrove yang seharusnya dilindungi justru dibabat habis untuk perkebunan kelapa sawit tanpa izin resmi dari pemerintah.
Padahal, keberadaan hutan mangrove sangat vital dalam menanggulangi krisis iklim global. Selain sebagai benteng alami terhadap abrasi dan tsunami, ekosistem mangrove terbukti mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar.
Mengutip hasil kajian Mega Wahyu Susilowati, Pujiono Wahyu Purnomo, dan Anhar Solichin dari Universitas Diponegoro dalam Jurnal Pasir Laut (2020), mangrove dapat menyimpan karbon dalam batang, serasah, dan sedimen. Hasilnya sangat signifikan:
Batang mangrove: 125,39 ton karbon/ha setara dengan 460,21 ton CO₂/ha. Serasah: 0,54 ton karbon/ha setara dengan 1,97 ton CO₂/ha. Sedimen: 57,74 ton karbon/ha setara dengan 211,89 ton CO₂/ha. Total serapan CO₂: 674,07 ton/ha
Mayoritas simpanan karbon—yakni 68,27%—berada pada batang pohon mangrove. Artinya, penebangan atau alih fungsi kawasan mangrove akan berdampak besar terhadap pelepasan karbon ke atmosfer, memperburuk efek rumah kaca dan pemanasan global.
YPAI menegaskan bahwa upaya rehabilitasi dan reboisasi mangrove di Langkat harus segera diintensifkan. Tengku Kendy mengingatkan bahwa mengembalikan fungsi mangrove sebagai penyerap karbon adalah bagian dari komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) yang dicanangkan secara global.
“Melindungi mangrove bukan hanya soal lingkungan lokal, ini soal masa depan bumi. Kita punya potensi besar di Langkat untuk menjadi bagian dari solusi global perubahan iklim,” tegasnya.
Dengan ancaman nyata dari alih fungsi dan minimnya penegakan hukum terhadap pelanggaran izin, pelestarian kawasan mangrove di Langkat menjadi pekerjaan rumah besar yang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dari pemerintah daerah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat setempat.(Misnoadi)