INformasinasional.com, Langkat –
Ironis! Meski telah disita negara sejak 14 Oktober 2022, perkebunan kelapa sawit seluas 97,45 hektare yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SM.KG LTL), tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, hingga kini masih terus dipanen oleh pihak pengelola.
Pantauan langsung INformasinasional.com pada Rabu (4/6/2025), aktivitas pemanenan tandan buah segar (TBS) tampak berjalan lancar tanpa hambatan. Padahal, lahan tersebut sudah jelas-jelas dipasangi papan peringatan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) yang menyatakan bahwa tanah ini dalam status sitaan berdasarkan putusan PN Medan Nomor 39/Sit/Pid.Sus-TPK/2022.
Meski status hukum lahan ini masih berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, aktivitas di atasnya seolah luput dari pengawasan. Persidangan sendiri sudah digelar sejak Januari 2025, dengan dua terdakwa utama yakni
[irp posts=”41014″ ]
- Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, seorang pengusaha yang diduga menjadi otak dari alih fungsi kawasan konservasi menjadi perkebunan sawit (Nomor Perkara: 138/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mdn).
- Imran SPd, Kepala Desa Tapak Kuda yang ikut terseret dalam kasus ini (Nomor Perkara: 139/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mdn).
Kades Tapak Kuda: “Saya Bingung Kenapa Jadi Terdakwa”

Saat ditemui di rumahnya, Imran SPd menyatakan bahwa dirinya tak tahu-menahu soal keterlibatannya dalam kasus ini. Ia menegaskan bahwa transaksi jual-beli lahan antara Akuang dan Sitanggang terjadi pada tahun 2000-2005, ketika dirinya masih duduk di bangku SMA.
“Saya baru jadi Kepala Desa tahun 2013. Saat itu, Akuang cuma minta dibikinkan resi kependudukan sebagai warga Tapak Kuda,” ujarnya.
Imran mempertanyakan dasar ia dijadikan terdakwa hanya karena mengeluarkan dokumen kependudukan, “Apakah resi penduduk saja cukup jadi bukti saya mengalihkan fungsi hutan jadi kebun sawit?”
Tokoh Masyarakat Desak Penegakan Hukum Tegas
Sementara itu, Muhammad Ramlan, mantan Kepala Desa sekaligus tokoh masyarakat setempat, dengan tegas meminta agar pengadilan segera menjatuhkan vonis dan menahan para terdakwa.
“Saya tahu betul sejarah lahan itu. Sudah seharusnya dikembalikan menjadi hutan negara. Jangan dibiarkan terus dikelola untuk keuntungan pribadi,” serunya.
BKSDA dan Kejatisu: Sudah Dihentikan, Tapi Tetap Berjalan
Pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Stabat, melalui Kasi II Boby, mengaku telah meminta agar pengelolaan dihentikan. Namun, aktivitas tetap saja terjadi.
“Sudah kita minta hentikan dan diawasi, tapi sepertinya masih dilakukan saat tidak terpantau,” tulisnya lewat WhatsApp, Rabu sore.
Hal senada disampaikan Kasipenkum Kejatisu Andre Wanda Ginting. Ia menyatakan bahwa perkara masih dalam proses hukum dan menunggu putusan pengadilan.
“Tanah dalam status sita oleh hakim. Kita tunggu bersama-sama putusan. Semua kewenangan kini ada di tangan majelis hakim,” tulis Andre singkat.(Misno)