INformasinasional.com, ACEH TIMUR – Sungai Pereulak kembali menelan korban. Iskandar (30), warga Desa Leubok Pempeng, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, meregang nyawa secara tragis setelah diterkam buaya saat mencari kerang air tawar (pempeng) pada Sabtu sore, 21 Juni 2025, sekitar pukul 15.00 WIB.
Peristiwa ini bukan hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga menguak potret buram lemahnya mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar di wilayah tersebut.
Detik-detik Mencekam: “Buaya itu Mencaplok Leher Iskandar”

Menurut kesaksian M. Hussen, salah satu rekan korban yang saat itu berada di lokasi, kejadian berlangsung sangat cepat dan mengerikan.
“Saat kami keluar dari air, saya lihat sendiri buaya itu membawa Iskandar. Lehernya yang dicaplok. Saya langsung panik,” ungkap Hussen dengan suara bergetar.
Ia menyebut, saat kejadian, dirinya dan Iskandar berada dalam posisi berdekatan, sementara enam rekan lain berada lebih jauh. Mereka bergegas menuju daratan dan meminta pertolongan warga sekitar.
“Buaya itu sempat membawa korban naik-turun ke permukaan air sampai tujuh kali, tapi tidak pernah melepaskan cengkeramannya. Lengket terus di mulut buaya,” jelasnya.
Evakuasi Dramatis: Buaya Baru Lepas Setelah Dikejutkan
Tim gabungan dari RAPI Aceh Timur, SAR, Polsek Pereulak, dan Koramil setempat dikerahkan ke lokasi. Butuh waktu dan taktik yang tepat agar buaya melepaskan korban.
[irp posts=”41592″ ]
“Saat tim melakukan manuver kejut, tiba-tiba buaya melepas korban. Warga langsung terjun ke sungai dan mengevakuasi jenazahnya,” ujar salah satu anggota SAR.
Korban ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa dan langsung dibawa ke rumah duka di Desa Leubok Pempeng untuk dimakamkan.
Potret Buram Konflik Manusia-Buaya di Aceh Timur
Tragedi ini menambah panjang daftar konflik manusia dengan buaya yang marak terjadi di wilayah perairan Aceh, khususnya di sungai-sungai yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal.
Menurut pengamatan INformasinasional.com, kasus-kasus seperti ini kerap kali berlalu tanpa solusi sistematis. Minimnya papan peringatan, lemahnya patroli satwa liar, hingga kurangnya sosialisasi mitigasi bahaya kepada warga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah.
“Sudah bukan sekali ini kejadian. Tapi tidak ada pengamanan atau tindakan nyata dari pihak terkait,” kata Rizal, warga setempat yang ikut mengevakuasi korban.
Warga menuntut adanya tindakan tegas dari pemerintah kabupaten dan BKSDA untuk meninjau ulang habitat buaya dan intensitas kehadirannya di wilayah-wilayah aktivitas warga. Mereka juga berharap sungai-sungai yang berisiko tinggi segera diberi tanda bahaya dan dilakukan patroli rutin agar tidak memakan korban jiwa lagi.
Kematian Iskandar seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kebijakan. Tragedi ini bukan hanya kehilangan satu nyawa, tetapi juga sebuah bukti nyata bahwa ketidaksiapan menghadapi konflik manusia-satwa dapat menjadi bencana yang berulang.(Red)