INformasinasional.com – Dunia menyaksikan, dan sejarah mencatat. Pada malam kelam 18 Juni 2025, Israel membayar harga paling mahal dari sebuah perlawanan. Perang yang belum genap dua pekan itu telah membawa negeri yang dikenal dengan kekuatan militer dan teknologi canggihnya ke titik nadir yang belum pernah dialami sebelumnya. Bukan hanya tanah yang terbakar, bukan hanya langit yang menghitam, tetapi reputasi yang selama ini dibangun dengan darah dan diplomasi runtuh dalam hitungan hari.
Lebih dari 70 miliar dolar setara dengan sekitar 1,12 triliun rupiah, bahkan mendekati 1,22 triliun dikuras habis hanya untuk menahan gelombang demi gelombang serangan yang datang dari Iran dan sekutunya. Dana ini bukan semata untuk operasional militer, tetapi juga untuk sistem pertahanan udara yang gagal menahan rudal, logistik warga sipil yang panik, pemadaman kebakaran besar-besaran, hingga biaya evakuasi ribuan penduduk dari zona-zona yang berubah menjadi kuburan terbuka.
Permohonan Damai Tanpa Syarat
Sumber-sumber dari media alternatif mengungkap bahwa Israel secara diam-diam telah memohon kepada Amerika Serikat untuk mendesak Iran menghentikan serangan tanpa syarat. Sebuah langkah yang nyaris tak masuk akal jika melihat bagaimana Israel selama ini tampil sebagai macan militer Timur Tengah. Permohonan itu menjadi tamparan terhadap wibawa negara tersebut, dan lebih buruk lagi Iran tidak menggubrisnya.
Alih-alih meredakan ketegangan, Iran justru meluncurkan serangan gelombang ke-10 pada malam 19 Juni 2025, pukul 22.00 waktu setempat. Langit Israel kembali memerah, bukan karena senja, tetapi oleh kobaran api dan kilatan rudal hipersonik yang lebih mematikan dari sebelumnya. Tak hanya jumlahnya yang banyak, namun Iran juga memperkenalkan satu jenis rudal baru yang hingga kini belum diidentifikasi dunia luar. Analis menduga rudal ini memiliki kemampuan penetrasi radar dan dampak elektromagnetik yang membuat sistem pertahanan Israel lumpuh.
Israel Tak Lagi Dapat Tidur

Peringatan darurat menggema dari semua saluran komunikasi. Pemerintah Israel memerintahkan warganya tidak tidur dipermukaan tanah, karena “jika Anda tidur di atas, Anda akan tidur untuk selamanya.” Setiap menit adalah ancaman, setiap malam adalah mimpi buruk. Rudal Iran menghantam pembangkit listrik tenaga surya dan nuklir, sistem komunikasi, depot bahan bakar, hingga pabrik-pabrik senjata. Kebakaran besar tak terpadamkan dan langit malam Israel berubah merah menyala.
Kilang minyak meledak satu demi satu. Instalasi militer yang selama ini menjadi simbol dominasi Israel hancur. Drone, roket, kendaraan lapis baja, semua lenyap dalam ledakan yang mengguncang, tidak hanya tanah, tapi juga identitas nasional.
Namun yang paling mengguncang dunia adalah serangan langsung ke Markas Mossad dan kediaman resmi Perdana Menteri Israel. Awalnya hanya rumor dari jaringan media alternatif dan pesan berantai, tapi kemudian terkonfirmasi oleh bocoran dari jaringan luar negeri. Tiga rudal menghantam wilayah elite itu secara presisi. Kediaman sang perdana menteri disebut rata dengan tanah. Dalam 12 jam pertama pasca-serangan, tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah Israel. Dunia bertanya: Apakah pemimpinnya masih hidup?
Hingga kini, belum ada kejelasan. Sebagian meyakini sang pemimpin tewas, sebagian lainnya menduga dia telah dievakuasi ke lokasi rahasia. Namun apa pun kenyataannya, simbol kekuasaan Israel telah dikoyak. Dunia melihat sendiri bahkan pemimpin Israel tak bisa lagi berlindung di negerinya sendiri.
Api, Asap, dan Air Mata
Dari Haifa di utara hingga Negev di selatan, kebakaran dan ledakan tak berhenti. Asap hitam menggantikan birunya langit. Rumah-rumah rata dengan tanah. Pemukiman elite terbakar. Rumah sakit militer berubah jadi kuburan massal. Video-video dramatis sempat beredar memperlihatkan warga sipil yang histeris, jerit bayi dari bunker, dan suara sirene yang tak henti meraung.
Namun semua itu lenyap dalam hitungan menit. Filterisasi superketat diberlakukan. Pemerintah Israel bersama jaringan intelijennya melakukan pembungkaman masif terhadap semua bentuk informasi yang dapat memperlihatkan kelemahan mereka. Media internasional ditekan, platform media sosial diminta memblokir rekaman, dan perusahaan media besar diberi tekanan diplomatik.
Namun upaya itu tidak berhasil sepenuhnya. Jurnalis independen dan aktivis digital berhasil menyelamatkan rekaman dan menyebarkannya melalui jaringan terenkripsi. Dalam video tersebut tampak jelas: pemadaman listrik massal, pemakaman darurat, dan kekacauan logistik. Beberapa bunker bahkan berubah menjadi kubur massal karena sistem ventilasi gagal dan tak ada petugas yang bisa mengevakuasi.
Negara Sekarat, Dunia Terpecah
[irp posts=”41733″ ]
Kekalahan Israel tak hanya menciptakan kekacauan fisik, tapi juga krisis eksistensial. Negara yang selama ini jadi pusat teknologi, diplomasi, dan kekuatan intelijen kini seperti hantu peradaban. Puing-puing dan jerit warga sipil menjadi narasi yang tak bisa lagi disangkal.
Dampaknya terasa secara geopolitik. Negara-negara sekutu mulai terpecah. Amerika Serikat berada di tengah tekanan: di satu sisi ingin menghindari konflik terbuka dengan Iran karena tekanan domestik, di sisi lain lobi pro-Israel mendesak intervensi militer secepatnya. Negara-negara Eropa bahkan mulai mengevakuasi warga mereka dari Israel, tanda bahwa kepercayaan internasional terhadap stabilitas Israel sudah benar-benar runtuh.
Penutup
Perang belum usai. Namun satu hal menjadi jelas, kekuatan sejati tak lagi diukur dari banyaknya jet tempur atau canggihnya pertahanan digital. Kekuatan kini adalah keberanian untuk melawan ketidakadilan, dan kesediaan untuk membayar harga dari perlawanan itu. Dan pada malam 19 Juni 2025, Israel telah membayar harga yang amat sangat mahal bukan hanya dengan uang, tetapi dengan identitas dan martabat.
(Penulis: Pemimpin Redaksi)