INformasinasional.com – Gencatan senjata antara Iran dan Israel akhirnya tercapai setelah 12 hari konflik militer intens yang mengguncang kawasan dan memicu kekhawatiran global akan eskalasi perang skala besar di Timur Tengah. Namun, di balik kesepakatan gencatan senjata itu, terungkap manuver diplomatik yang dilakukan Amerika Serikat melalui Prancis untuk membuka jalur komunikasi dengan Teheran hanya beberapa jam sebelum senjata-senjata berat terdiam.
Seorang sumber diplomatik di Prancis mengungkap kepada kantor berita AFP bahwa pada Senin malam (23/6), Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio secara langsung menghubungi Menlu Prancis Jean-Noel Barrot. Tujuannya: menyampaikan niat Washington untuk segera menghentikan perang, asalkan Iran tak melakukan aksi pembalasan lebih lanjut atas serangan militer yang menewaskan ratusan orang.
“Rubio meminta Jean-Noel Barrot untuk menyampaikan informasi ini kepada Abbas Araghchi (Menlu Iran),” kata sumber itu, dikutip Rabu (25/6/2025).
Permintaan itu segera ditindaklanjuti. Barrot menghubungi mitranya di Iran untuk menyampaikan isi diskusi antara Washington dan Tel Aviv, termasuk tawaran gencatan senjata yang didukung oleh AS. Abbas Araghchi merespons positif, bahkan mengisyaratkan kesiapan Iran untuk kembali ke meja perundingan terkait program nuklirnya bersama Prancis, Inggris, dan Jerman.
Diplomasi Multilapis: Qatar dan Oman Turut Bergerak
Selain Prancis, dua negara Teluk, Qatar dan Oman, turut memainkan peran krusial dalam mendesak Iran agar menghentikan eskalasi konflik. Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menjadi mediator penting setelah rudal Iran mendarat di dekat pangkalan militer AS di Doha. Qatar berhasil membujuk Iran untuk menerima skema gencatan senjata yang dirancang Washington.
Hasilnya terlihat pada Selasa (24/6), ketika Israel menyatakan menyetujui deklarasi gencatan senjata yang diumumkan Presiden AS Donald Trump. Tel Aviv mengklaim telah mencapai seluruh target militernya dalam perang singkat namun mematikan tersebut.
“Hari ini, setelah perlawanan heroik bangsa kita yang besar, yang tekadnya telah menciptakan sejarah, kita menyaksikan terbentuknya gencatan senjata dan berakhirnya perang 12 hari,” kata Presiden Iran Masoud Pezeshkian dalam pidato yang disiarkan IRNA, Rabu (25/6).
Konflik berdarah itu dimulai pada 13 Juni, saat Israel melancarkan serangan udara mengejutkan ke berbagai kota di Iran, termasuk ibu kota Teheran. Target utama: fasilitas nuklir dan pangkalan militer. Serangan itu menyebabkan tewasnya 400 orang, termasuk ilmuwan nuklir, warga sipil, dan para komandan militer tingkat tinggi.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan rentetan rudal dan drone ke kota-kota Israel, termasuk Tel Aviv dan Haifa. Aksi balas-membalas ini membuat dunia tertegun dan memicu kekhawatiran bahwa perang regional tak terhindarkan.

Dalam serangan Israel, seorang komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Mohammad Taqi Yousefvand, turut gugur. Ia mengepalai divisi Perlindungan Intelijen Basij dan dilaporkan tewas dalam serangan udara di Teheran pada Senin, sehari sebelum kesepakatan damai dicapai.
“Yousefvand akan dimakamkan di kampung halamannya, Selseleh, Provinsi Lorestan,” ungkap IRGC dalam pernyataan resmi.
Setelah gencatan senjata diumumkan, langkah kontroversial datang dari Parlemen Iran. Sebanyak 221 anggota parlemen menyetujui penangguhan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), hanya satu suara abstain, tanpa satu pun penolakan.

“IAEA telah mempertaruhkan kredibilitas internasional mereka dengan menolak mengutuk serangan terhadap fasilitas nuklir Iran,” tegas Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Ghalibaf.
Menurutnya, Iran akan menghentikan sementara seluruh kerja sama teknis dan inspeksi dengan badan pengawas nuklir PBB, hingga keamanan fasilitas nuklir Iran dapat dipastikan.
Keputusan ini masih menunggu pengesahan Dewan Wali Iran, namun sinyalnya jelas: ketegangan geopolitik belum benar-benar usai.
Trump vs CNN: Perang Narasi Tak Kalah Panas
Dari Washington, Gedung Putih membantah laporan CNN yang menyebut serangan udara AS ke tiga fasilitas nuklir Iran hanya memberi dampak sementara pada program nuklir Teheran. Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyebut laporan itu sebagai “kebocoran rahasia besar” dan bagian dari upaya sistematis untuk merusak citra Presiden Trump.
“Penilaian itu salah besar dan dibocorkan oleh pecundang tak dikenal dari kalangan intelijen,” tulis Leavitt di platform X.
Leavitt bahkan menyebut CNN sebagai media yang “dulu menyebut laptop Hunter Biden sebagai disinformasi”, merujuk pada skandal media sebelumnya yang masih menyisakan kontroversi politik di AS.
Analisis: Gencatan Senjata atau Jeda Strategis?
Meski senjata telah terdiam, banyak analis menilai gencatan senjata ini hanya jeda sementara sebelum konflik memanas kembali. Keputusan Iran untuk membekukan kerja sama dengan IAEA, serta retorika keras dari Washington dan Tel Aviv, memperlihatkan bahwa akar masalah program nuklir Iran dan ancaman eksistensial dari Israel belum terselesaikan.
Gencatan senjata ini mungkin menghindarkan Timur Tengah dari bencana yang lebih besar untuk saat ini, tetapi kerapuhan diplomasi dan derasnya agenda politik masing-masing negara membuat perdamaian sejati masih jauh dari genggaman.
(misn’t)