INformasinasional.com, LANGKAT – Teka-teki tersangka korupsi Smartboard dan Mobiler Sekolah di Langkat, bekas Kabid SD atau Tertumpu ke Mantan Kadisdik?
Kasus dugaan korupsi pengadaan alat bantu pendidikan Smartboard dan mobiler sekolah di Kabupaten Langkat memasuki babak baru. Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Stabat telah memeriksa sejumlah pejabat dan pihak terkait, namun teka-teki siapa yang akan dijadikan tersangka masih menjadi tanda tanya besar publik.
Salah satu nama yang menjadi sorotan adalah Sp eks Kepala Bidang (Kabid) Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Langkat. Sosok yang dikenal ‘bernasib baik’ ini kembali diperiksa. Sp selama ini disebut-sebut sebagai figur yang selalu lolos dari jerat hukum, meskipun namanya kerap muncul dalam berbagai kasus dugaan pungutan liar dan fee proyek pendidikan.
Kini, publik bertanya, akankah Sp kembali lolos kali ini? Ataukah kasus ini akan diarahkan sepenuhnya kepada mantan Kepala Dinas Pendidikan Langkat, Syaiful Abdi, yang sudah divonis 3 tahun penjara dalam kasus suap seleksi PPPK Langkat 2023?
Kasus ini bermula dari pengadaan Smartboard senilai Rp50 miliar yang bersumber dari anggaran perubahan APBD Kabupaten Langkat tahun 2024. Dari jumlah tersebut, pengadaan untuk jenjang SD mencapai Rp31,9 miliar, sementara untuk SMP senilai Rp17,9 miliar.
Smartboard, yang dikenal sebagai papan pintar interaktif merek Viewsonic 75 inci seharga Rp158 juta per unit, digadang-gadang dapat mengubah metode pembelajaran menjadi lebih modern. Namun, fakta dilapangan justru memunculkan masalah serius.
Banyak sekolah penerima yang ternyata tidak memiliki jaringan internet memadai, sehingga perangkat canggih ini tidak dapat difungsikan optimal. Selain itu, dari 538 SD dan 62 SMP Negeri yang ada di Langkat, hanya sebagian kecil yang mendapat Smartboard. Hal ini memunculkan kesenjangan pengalaman belajar diantara siswa.
“Terjadi diskriminasi mutu dan pengalaman siswa. Sekolah yang mendapat Smartboard jauh lebih unggul dalam wawasan teknologi dibanding yang tidak,” kata banyak pengamat pendidikan lokal.
Jika ingin pemerataan fasilitas tercapai, dibutuhkan anggaran tambahan setidaknya Rp250 miliar untuk pengadaan Smartboard di seluruh sekolah. Tanpa kelanjutan program ini, pengadaan sebelumnya dinilai sebagai “kegiatan terburu-buru yang hanya menguntungkan pihak tertentu.”
Bahkan, sejumlah sumber menilai proyek ini terkesan dipaksakan, hanya untuk menghabiskan anggaran perubahan APBD dan membuka celah korupsi.
Dalam perkembangan terbaru, Rabu 30 Juki 2025, Sp dipanggil Penyidik Kejari Langkat untuk dimintai keterangan.
Kasi Intelijen Kejari Langkat, Luis Nardo, melalui Prama Tampubolon, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memeriksa enam orang saksi, yang terdiri dari pejabat Dinas Pendidikan Langkat serta pihak penyedia pengadaan barang.
“Jika diperlukan, tidak tertutup kemungkinan Pj Bupati saat itu (Faisal Hasrimy) akan dipanggil untuk dimintai keterangan,” ujar Prama kepada wartawan.
Publik menilai, kasus ini bisa menyeret pejabat yang lebih tinggi, mengingat pengadaan dilakukan saat masa kepemimpinan Pj Bupati Faisal Hasrimy.
Spekulasi berkembang dimasyarakat bahwa kasus ini bisa saja kembali menjadi “jebakan klasik”, dimana pejabat lapangan seperti Kabid SD atau mantan Kadisdik Langjat dijadikan kambing hitam, sementara aktor intelektual yang lebih besar lolos dari jerat hukum.
Disisi lain, ada pula dugaan bahwa kasus ini akan diarahkan sepenuhnya kepada mantan Kadisdik Syaiful Abdi, yang kini sudah di penjara, sehingga memudahkan proses hukum tanpa harus menyentuh pejabat aktif yang masih memiliki pengaruh kuat.
Kasus korupsi pendidikan seperti ini bukan hanya soal kerugian negara, tapi juga menyangkut masa depan anak-anak Langkat. Jika proses hukum tidak transparan, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan terus menurun.
“Masyarakat menunggu keberanian Kejaksaan. Apakah hukum akan tajam ke atas, atau kembali tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” tegas kalangan aktivis antikorupsi di Langkat, diantaranya A Simanjuntak.
Kini, semua mata tertuju ke Kejari Stabat: Akankah mereka berani mengusut tuntas aktor intelektual di balik proyek Smartboard ini, ataukah kasus ini hanya akan berakhir sebagai formalitas hukum yang menjadikan pejabat tertentu sebagai “tumbal politik”?
(Misno)