INformasinasional.com, MEDAN –
Putusan mencengangkan kembali lahir dari ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Medan Kelas IA Khusus. Dua terdakwa kasus korupsi raksasa, Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng dan Kepala Desa Tapak Kuda Imran, S.Pd.I., dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada Senin (11/8/2025) pukul 16.00 WIB. Namun, alih-alih digiring ke tahanan, keduanya justru melenggang bebas meninggalkan pengadilan—seolah vonis hanya formalitas tanpa eksekusi.
Uang Pengganti Fantastis, Tapi Hukum Seperti Mainan
Ketua Majelis Hakim M. Nazir, S.H., M.H., dalam amar putusannya menyatakan kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor. Akuang bahkan diwajibkan membayar uang pengganti Rp856,8 miliar yang terdiri dari:
Kerugian negara: Rp10,5 miliar
Keuntungan ilegal: Rp69,6 miliar
Kerugian perekonomian negara: Rp787,1 miliar. Hakim menegaskan, “Jika terbukti, ya terbukti. Tidak ya tidak.”
Namun yang membuat publik ternganga: meski hakim memerintahkan penahanan dalam amar putusan, fakta di lapangan berkata lain—kedua koruptor kelas kakap itu tetap bebas, bahkan tanpa pengawalan.
Jaksa Penuntut Umum sebelumnya menuntut 15 tahun penjara, tetapi majelis hakim menurunkannya menjadi 10 tahun. Saat diminta klarifikasi terkait pembiaran ini, Juru Bicara PN Medan, Soniady DS, hanya membenarkan ada perintah penahanan, lalu bungkam tanpa penjelasan.
Warga Tapak mengatakan, ini Skandal Terbesar di Sumut.
Sementara, Ramlan, mantan Kades Suka Maju (2009–2016), menyebut kasus ini skandal korupsi terbesar di Sumatera Utara. Menurutnya, Akuang sudah menguasai dan memanen sawit di Suaka Margasatwa Karang Gading sejak awal 2000-an.
“Lebih dari 25 tahun dia panen sawit, tapi jalan di sini tetap hancur. RDP di DPRD Langkat pun, pengusaha sawit yang diundang malah tak pernah hadir,” tegas Ramlan geram.
Ia juga menuding Kades Tapak Kuda, Imran, yang turut menjadi terdakwa, abai terhadap perbaikan jalan yang rusak parah lebih dari setengah abad.
Dugaan Nepotisme & Lahan Ilegal yang Tetap Dipanen


Sejumlah saksi kepada wartawan mengungkap fakta mengejutkan: lahan yang sudah disita Kejati Sumut dan diserahkan ke BKSDA masih terus dipanen oleh Koperasi Sinar Tani Makmur, bahkan diduga dijaga aparat bersenjata.
Tak kalah miris, Imran—meski berstatus terdakwa Tipikor—masih aktif menjabat Kepala Desa dan Kepala Sekolah di MTS Nurbahri Desa Bubun. Ia menerima tunjangan profesi guru, melakukan mutasi perangkat desa tanpa sepengetahuan BPD, dan diduga sarat nepotisme. Nama Camat Tanjung Pura Tengku Reza Aditya, S.IP., ikut terseret karena mengeluarkan rekomendasi tanpa koordinasi resmi.
Kejahatan Lingkungan Berskala Besar
Aktivis WALHI Sumut menilai vonis ini tidak memberi efek jera. Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Doni Latuparissa, menyebut alih fungsi mangrove menjadi kebun sawit bukan hanya korupsi, tapi kejahatan ekologis yang mengancam masa depan pesisir.
“Kerusakan habitat satwa, hancurnya ekosistem pantai—ini kejahatan terhadap generasi mendatang. Terdakwa terlihat sehat, santai, dan jelas tidak menyesal selama sidang,” ujarnya.
Siapa yang Melindungi?
Vonis tanpa penahanan ini menjadi tamparan keras bagi wibawa hukum di Indonesia. Publik kini mendesak Kejaksaan dan Pengadilan untuk mengeksekusi putusan serta memulihkan kawasan yang rusak. Tanpa tindakan tegas, hukum akan terus terlihat seperti panggung sandiwara, dan para perusak hutan akan tetap dilindungi oleh bayang-bayang kekuasaan.
Pertanyaannya kini bergema di Sumut: Siapa yang berdiri di balik kebebasan para perampok uang dan alam negeri ini?
Kalau mau, saya bisa buatkan versi judul dan subjudul yang lebih “mengguncang” media daring agar berita ini punya daya ledak klik tinggi. Itu akan membuatnya viral lebih cepat.(Lan/Mis)