INformasinasional.com, LANGKAT –
Di kala Jakarta gegap gempita dengan prosesi megah HUT ke-80 Republik Indonesia, sebuah cerita lain yang tak kalah heroik justru lahir di sebuah dusun terpencil di Kabupaten Langkat. Dusun Sei Mati, Desa Alur Gadung, Kecamatan Sawit Seberang, menjadi panggung kecil penuh makna, tempat warga desa merayakan kemerdekaan dengan cara mereka sendiri: sederhana, tulus, namun sarat dengan semangat kebangsaan.
Minggu pagi, 17 Agustus 2025, suasana dusun tampak lengang. Tak ada sirene panjang, tak ada dentuman meriam kehormatan, hanya suara alam yang berpadu dengan langkah kaki warga berbondong menuju sebuah lapangan kecil di pojok dusun. Anak-anak PAUD dengan baju adat Melayu, siswa MTs dan MIS dengan seragam rapi, hingga ibu-ibu dengan wajah penuh haru datang, semua ingin jadi bagian dari detik-detik sakral kemerdekaan.
Bendera Merah Putih berdiri kokoh di tiang bambu sederhana, menanti untuk dikibarkan. Meski tanpa protokol mewah, aura nasionalisme begitu kental terasa. Seakan dusun kecil itu berubah menjadi miniatur Indonesia yang penuh persatuan.
Bung Lubis: “Kita Boleh Tinggal di Kampung, Tapi Jangan Hidup Kampungan”
Ketua DPD Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Langkat, Mhd Zaid P. Lubis, ST, yang akrab disapa Bung Lubis, didapuk menjadi Inspektur Upacara. Dengan suara lantang dan penuh penekanan, ia menyalakan bara patriotisme warga melalui amanat singkat namun sarat makna.
“Negeri ini merdeka bukan karena hadiah penjajah, tetapi karena perjuangan panjang penuh pengorbanan. Dan tugas kita hari ini adalah mengisinya dengan hal-hal positif, dengan persatuan sebagai modal utama,” ucapnya.
Bung Lubis menegaskan, tinggal dikampung bukanlah alasan untuk terbelakang.
“Kita boleh tinggal di kampung, tapi jangan hidup kampungan. Kita boleh hidup tertinggal, tapi menuntut ilmu harus diutamakan. Anak-anak kita kelak yang akan membawa dusun ini maju,” katanya, disambut riuh tepuk tangan warga.
Pesan itu seakan menancap dalam hati para orang tua yang hadir. Banyak di antara mereka menundukkan kepala, seakan membatin bahwa masa depan kampung memang bergantung pada pendidikan anak-anak mereka.
Puncak acara terjadi saat pasukan pengibar bendera yang seluruhnya siswa desa, melangkah ketengah lapangan. Komandan upacara, Wardana, memimpin dengan gagah, sementara Ayu, Alif, dan Aji, siswa MIS Al Jamilah, bertugas sebagai pengerek bendera. Meski seragam mereka sederhana dan latihan hanya bermodal semangat, bendera Merah Putih berhasil berkibar dengan anggun di langit dusun.
Tak sedikit warga menitikkan air mata. Bagi mereka, momen itu bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan simbol bahwa meski jauh dari pusat kota, mereka tetap bagian dari Indonesia.
Pelatih Paskibra, Pelda Supianto dari Koramil 10 Padang Tualang, dengan bangga menyebut, “Disiplin anak-anak desa ini luar biasa. Walau dengan keterbatasan, mereka membuktikan bahwa semangat kemerdekaan bisa dijaga.”
Tak ada pejabat tinggi, tak ada tamu kehormatan. Yang hadir hanya kepala dusun, para guru, tokoh masyarakat, serta ratusan warga yang rela meninggalkan ladang dan rumah untuk bersama-sama hormat pada Sang Merah Putih.
Namun justru disitulah letak keistimewaannya. Ditengah keterbatasan, Dusun Sei Mati memperlihatkan wajah sejati nasionalisme: murni, tanpa rekayasa, dan lahir dari hati rakyat.
Bung Lubis menutup amanatnya dengan pesan membakar semangat. “Teruslah jaga persatuan, teruslah memberi yang terbaik untuk negeri. Jangan sekali-kali nodai perjuangan para pahlawan dengan sikap apatis. Walau kita di pelosok, cinta tanah air harus tetap harga mati!”
Upacara sederhana itu menjadi bukti bahwa nasionalisme tidak lahir dari gemerlap panggung dan sorot kamera, melainkan dari kesadaran kolektif rakyat bahwa kemerdekaan adalah milik semua. Dusun Sei Mati, dengan segala keterbatasannya, telah menunjukkan bahwa cinta tanah air sesungguhnya ada diakar rumput.
Harapan pun menggema, semoga apa yang dilakukan warga Sei Mati menjadi inspirasi bagi dusun-dusun terpencil lain di seluruh Indonesia. Bahwa semangat patriotisme bisa tumbuh di mana saja, asalkan ada tekad, persatuan, dan cinta pada negeri.
Dusun kecil, jiwa besar. Dari tepian Langkat, berkibar Sang Merah Putih. Merdeka adalah milik semua, dan di Sei Mati, semangat itu tetap hidup abadi.
(Misno Adi)