INformasinasional.com, MEDAN –
Agenda Silaturahmi Gubernur Sumut Muhammad Bobby Afif Nasution dengan para pemimpin redaksi, Senin (25/8/2025), kini berubah jadi sorotan panas. Alih-alih simbol keterbukaan, forum itu justru terendus sebagai ajang “screening” media. Sejumlah pimpinan redaksi menilai Dinas Kominfo Sumut dengan sengaja menyaring media yang boleh masuk dan mana yang harus dipinggirkan.
Acara yang berlangsung di Aula Tengku Rizal Nurdin, Rumah Dinas Gubernur Sumut, sejak pukul 10.00 WIB itu memang dijaga ketat Satpol PP. Namun, fakta yang mencuat dilapangan lebih mengejutkan. Hanya 104 pemimpin redaksi yang diundang dari ratusan media yang ada di Sumut.
Sumber internal yang enggan disebutkan namanya menyebutkan, daftar undangan dibuat secara selektif, bahkan diduga berdasarkan kedekatan dan kepentingan. Alhasil, banyak media berbadan hukum resmi dan sudah berbadan PT justru dikeluarkan dari daftar.
Media “Dekat” Dirangkul, Media Kritis Disingkirkan?
Sejumlah pemimpin redaksi yang tersingkir menyebut kebijakan ini sarat kepentingan. “Kalau silaturahmi hanya untuk media pilihan, itu bukan lagi forum keterbukaan. Itu seleksi loyalitas. Media yang kritis sengaja dipinggirkan,” kata salah satu pemred yang kecewa.
Nada serupa datang dari pimpinan media lain. “Kami ini media legal, punya kantor, terdaftar. Tapi tidak diundang. Jangan-jangan karena kami sering memberitakan fakta yang pahit bagi pemerintah?” sindirnya pedas.
Kecurigaan itu kian kuat karena Kominfo Sumut tak pernah mempublikasikan dasar pemilihan undangan. Bahkan, ada dugaan kuat bahwa daftar tersebut dipengaruhi kepentingan politik praktis.
PWI Sumut Ingatkan Bahaya Eksklusivitas
Ketua PWI Sumut, Farianda Putra Sinik, memberi sinyal tegas. Ia memuji niat Gubernur Bobby yang ingin mendengar langsung aspirasi media, tetapi mengingatkan bahaya forum yang eksklusif.
“Media itu mitra strategis pemerintah. Kritik pers bukan ancaman, justru itu bentuk kepedulian. Tapi forum ini jangan hanya untuk segelintir pemred. Kedepan semua pimpinan media harus diberi ruang,” tegas Farianda.
Pengamat komunikasi menilai, pola “pilih kasih” Kominfo Sumut bisa menjadi preseden buruk. Jika media yang kritis sengaja dikebiri aksesnya, maka yang muncul hanyalah berita-berita manis yang menguntungkan pemerintah. Sementara suara rakyat yang sebenarnya disuarakan lewat media independen akan terkubur.
“Ini bukan sekadar silaturahmi. Kalau Kominfo hanya rangkul media tertentu, maka bisa disebut sebagai upaya membangun barisan media pendukung. Ini berbahaya bagi demokrasi,” kata seorang akademisi yang diminta pandangannya.
Kini, sorotan publik mengarah ke Gubernur Bobby. Apakah ia mengetahui “penyaringan” yang dilakukan Kominfo? Atau justru dibiarkan demi menjaga lingkaran media yang dianggap aman?
Jika Bobby serius ingin membangun komunikasi yang sehat dengan pers, ia harus segera membongkar tabir ini dan menegaskan Kominfo agar berhenti mempraktikkan politik pilih kasih.
Sebab pada akhirnya, silaturahmi bukan hanya soal kumpul-kumpul. Ia adalah cermin keterbukaan. Dan keterbukaan sejati tak pernah lahir dari diskriminasi.
Dan pertanyaan besar pun menggema dari publik Sumut. Apakah Kominfo sedang jalankan tugas negara, atau sedang bangun tembok elitis yang hanya merangkul media tertentu demi kepentingan segelintir orang?
(Misno)