INformasinasional.com, JAKARTA – Dua tahun sudah langit organisasi pers tertua ditanah air itu mendung. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang sejak 1946 dikenal sebagai rumah besar wartawan nasional, retak diterpa konflik dualisme kepengurusan.
Disatu sisi ada kubu Hendry Ch Bangun yang lahir dari Kongres Bandung 2023. Disisi lain, ada kubu Zulmansyah Skedang hasil Kongres Luar Biasa Jakarta 2024. Dua kubu itu hidup berdampingan, saling klaim legitimasi, dan membuat PWI seperti kapal yang berlayar dengan dua nakhoda. Nyaris karam.
Kini, badai itu mereda. Kongres Persatuan yang digelar di Cikarang, Bekasi, pada 29–30 Agustus 2025, menjadi titik balik sejarah. Dalam forum yang disebut-sebut paling menentukan sejak reformasi PWI, Direktur Utama LKBN Antara, Akhmad Munir, terpilih sebagai Ketua Umum PWI periode 2025–2030. Adapun Atal S Depari dipercaya menjadi Ketua Dewan Kehormatan.
Kabar bersatunya PWI disambut penuh sukacita oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid. Dalam pertemuan dengan Munir dan Atal, Meutya tak hanya menyampaikan ucapan selamat, tapi juga pesan keras yang sarat makna.
“Kami tentu senang, mendapat kabar Kongres Persatuan PWI berjalan lancar dan demokratis. Semoga PWI betul-betul bersatu lagi dan kembali fokus untuk mengawal jurnalisme Indonesia yang profesional dan berkualitas,” kata Meutya, Rabu (3/9/2025)
Namun, ia tak berhenti disana. Meutya menegaskan bahwa rekonsiliasi tidak boleh setengah hati. “Masukkan Pak Hendry (Ch. Bangun). Agar benar-benar rekonsiliasi dan bersatu kembali,” tegasnya.
Pesan itu ibarat tamparan halus. Meutya ingin memastikan PWI benar-benar menutup luka lama. Tak ada lagi dua matahari dalam satu langit pers. Tak ada lagi bayang-bayang dualisme yang menggerogoti kewibawaan organisasi wartawan terbesar dinegeri ini.
PWI bukan organisasi sembarangan. Ia lahir di Surakarta, 9 Februari 1946, ketika bangsa masih bergulat mempertahankan kemerdekaan. PWI menjadi tonggak pertama organisasi wartawan di Indonesia, berdiri dengan semangat nasionalisme dan idealisme: menjadikan pers sebagai alat perjuangan dan pencerahan rakyat.
Namun, dalam dua tahun terakhir, sejarah panjang itu ternodai. Alih-alih menjadi payung pemersatu, PWI justru terseret dalam kubangan konflik internal. Kongres Bandung melahirkan kubu Hendry, Kongres Luar Biasa Jakarta melahirkan kubu Zulmansyah. Diakar rumput, wartawan dibuat bingung. PWI yang mana yang sah?
Dua kubu itu berjalan sendiri-sendiri, menggelar acara masing-masing, bahkan mengirim perwakilan berbeda ke forum-forum internasional. Dunia pers pun mencatatnya sebagai salah satu krisis terburuk dalam tubuh organisasi jurnalis di Indonesia.
Dengan dukungan Kemenkomdigi dan campur tangan tokoh pers senior, Dahlan Dahi, akhirnya jalan damai ditempuh. Kongres Persatuan di Cikarang digelar sebagai kompromi. Munir terpilih lewat proses demokratis, Atal naik ke kursi Dewan Kehormatan, dan yang paling penting kubu Hendry akan diakomodasi dalam kepengurusan baru.
“Formatur sedang menyusun kepengurusan baru, termasuk mengakomodasi nama Hendry Ch Bangun dan kawan-kawan. Prinsipnya, ini kepengurusan bersama. Tidak boleh ada yang ditinggalkan,” ujar Munir.
Langkah berikutnya, kepengurusan baru segera menyusun formasi definitif dan mengurus legalitas ke Kemenkumham. Rencananya, pelantikan pengurus PWI periode 2025–2030 akan digelar di Museum Pers Nasional, Solo, akhir September mendatang. Pilihan tempat itu sarat simbol, Solo adalah kota kelahiran PWI, sekaligus saksi sejarah perjalanan panjang pers Indonesia.
Namun, pekerjaan Munir dan timnya jauh dari selesai. Ditengah derasnya arus informasi digital, banjir hoaks, hingga ancaman polarisasi politik jelang pemilu, pers Indonesia membutuhkan organisasi yang solid, berwibawa, dan mampu menjaga marwah jurnalisme.
Meutya Hafid menegaskan, pemerintah siap berkolaborasi dengan PWI. “Wartawan harus tetap menjadi penegak kode etik jurnalistik, bukan korban arus hoaks,” katanya.
Kongres Persatuan memang telah menutup babak kelam PWI. Munir dan Atal diharapkan menjadikan PWI benar-benar rumah bersama bagi seluruh wartawan Indonesia.(Misno)