INformasinasional.com*
TRAGEDI pohon tumbang, negara harus hadir, jangan berlindung dibalik dalih alam. Tragedi demi tragedi pohon tumbang kembali menorehkan luka dijalan raya. Bukan sekadar ranting patah atau daun gugur yang menyentuh tanah, melainkan batang-batang besar yang mengubur nyawa, melukai tubuh, dan meremukkan kendaraan. Ironis, ketika publik masih digiring untuk percaya bahwa semua itu sekadar “faktor alam”. Padahal, dibalik setiap pohon yang rubuh, ada cerita tentang kelalaian, pembiaran, dan abainya negara.
Kisah pilu korban pohon tumbang sering berakhir diruang gawat darurat, atau lebih buruk dipemakaman. Namun dicatatan negara, mereka hanyalah angka dari “kecelakaan tunggal”. Dengan label dingin itu, keluarga korban tidak berhak menerima santunan layak dari Jasa Raharja, hanya biaya perawatan rumah sakit. Tidak ada kompensasi untuk nyawa yang melayang, tidak ada ganti rugi bagi kendaraan yang remuk. Sungguh tragis, ketika warganya tewas dijalan yang dikelola negara, justru negara memilih absen.
Diatas kertas, pemerintah selalu menepuk dada tentang hutan kota, penghijauan, dan kesejukan lingkungan. Di Langkat, deretan pepohonan memang meneduhkan, sejuk dipandang, dan menjadi kebanggaan. Tapi pepohonan rindang itu bak pedang bermata dua. Tanpa pemeliharaan rutin dan peremajaan serius, batang yang rapuh berubah jadi ancaman maut. Estetika hijau hanyalah topeng, ketika akar-akar yang keropos dibiarkan menunggu waktu untuk tumbang.
Apalagi Langkat bukan wilayah kecil. Salah satu kabupaten terluas di Sumatera Utara ini disesaki perkebunan sawit dan karet milik BUMN maupun swasta, dengan barisan pohon berjajar disepanjang jalan umum. Setiap hari, ribuan kendaraan melintas dibawahnya. Sebagian pohon mati, kering, dan rapuh, tapi tetap berdiri tegak seolah menantang. Hingga suatu hari, ia tumbang. Bukan salah angin semata, tapi salah manajemen. Kelalaian yang dibiarkan jadi pembunuh.
Sudah saatnya tragedi ini tidak lagi ditutupi dengan dalih “bencana alam”. Pemerintah daerah, pengelola perkebunan, hingga kementerian terkait harus mengambil tanggung jawab penuh. Mengasuransikan hutan kota bukan sekadar gagasan progresif, melainkan kebutuhan mendesak. Setiap pohon yang ditanam diruang publik sejatinya membawa konsekuensi, bila ia tumbang dan melukai, negara wajib hadir mengganti rugi. Perusahaan asuransi bisa menjadi penopang, tapi dorongan politik dari pemerintah adalah kuncinya.
Regulasi sebetulnya bukan barang baru. Ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 09/PKT/M/2011 dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Tinggal kemauan politik daerah untuk menerjemahkannya dalam bentuk perda. Tanpa itu, tragedi pohon tumbang akan terus dianggap musibah biasa. Padahal, musibah ini lahir dari kelalaian struktural.
Lebih jauh, pengelola perkebunan swasta pun tak boleh lepas tangan. Mereka wajib memberi santunan, melakukan peremajaan pohon, dan mengasuransikan barisan tanaman yang tumbuh ditepi jalan umum. Nyawa pengendara yang melintas bukan harga murah untuk ditebus dengan kalimat klise “ini takdir”.
Pohon tumbang bukan sekadar kayu yang rebah dijalan. Ia adalah simbol abainya negara terhadap warganya. Selama pemerintah hanya hadir dengan seremonial menanam bibit, tapi absen ketika batang tua menimpa rakyat, maka tragedi akan terus berulang. Dan setiap kali itu terjadi, kita semua tahu, negara gagal hadir dibawah rindangnya pepohonan.
(Penulis: Ketua DPD AMPI Langkat)