INformasinasional.com, LANGKAT – Derita nelayan tradisional Tapak Kuda ternyata bukan sekadar soal ombak dan angin laut. Mereka kini berhadapan dengan musuh yang jauh lebih ganas: para cukong besar yang mengendalikan armada pukat trol dan garandong dari balik layar.
Di perairan dangkal Tapak Kuda, alat tangkap terlarang itu bekerja bak mesin panen raksasa. Sekali jalan, laut disapu bersih. Ikan kecil, besar, bahkan bibit ikan tak luput dari serokan besi dan jaring kasar. Hasilnya: perahu nelayan tradisional pulang dengan perut kosong, sementara kapal para cukong melenggang pulang sarat muatan.
“Hantu Laut” dan Cukong Berwajah Dua
Wanda (40), nelayan Tapak Kuda, menyebut praktik ini bukan rahasia lagi. Kapal-kapal itu milik cukong asal Serapoh dan Belawan, yang diduga kuat punya bekingan. “Mereka tak mungkin berani merajalela kalau tidak ada yang melindungi. Apalagi berani masuk ke wilayah dekat hutan bakau, jelas-jelas dilarang. Tapi siapa yang berani menyentuh mereka?” ujarnya.
Di kalangan nelayan, nama-nama cukong itu beredar dengan gamblang. Mereka dikenal memiliki jaringan bisnis perikanan besar, menguasai jalur distribusi hingga ke pasar ekspor. Ironisnya, beberapa di antara mereka justru kerap tampil manis di hadapan publik sebagai “dermawan laut”, memberi bantuan sosial di pesisir untuk menutupi praktik kotor di lautan.
Pertanyaan besar pun menyeruak: di mana negara? Larangan pukat trol dan garandong bukan hal baru. Instruksi kementerian sudah jelas: alat tangkap merusak itu dilarang keras. Tapi di lapangan, aturan tinggal aturan.
“Ini bukan sekadar soal nelayan melawan cukong. Ini soal hukum yang lumpuh, aparat yang menutup mata, dan negara yang absen,” kata seorang aktivis lingkungan pesisir yang meminta identitasnya dirahasiakan. Ia menduga, ada aliran “upeti” dari para cukong ke oknum-oknum tertentu, sehingga operasi ilegal ini berjalan mulus.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumatra Utara, Adhan Nur, tak menutupi kemarahannya. “Ini sudah bukan sekadar pelanggaran. Ini kejahatan ekologis. Pukat trol merusak habitat, menghancurkan terumbu karang, dan membunuh masa depan nelayan tradisional,” ujarnya tegas.
Ia menegaskan HNSI akan mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas cukong-cukong di balik layar. “Kalau dibiarkan, ini bukan hanya merampas hak nelayan, tapi juga merusak ekosistem laut yang jadi warisan anak cucu kita.”
Ditengah pembiaran itu, nelayan Tapak Kuda hanya bisa menggantungkan harapan pada ombak dan doa. Mereka tahu, melawan cukong sama saja dengan melawan tembok besi. Tapi jeritan mereka kini menggema ke permukaan, membuka tabir siapa sebenarnya predator di balik krisis laut Langkat.
Laut Tapak Kuda bukan lagi milik rakyat kecil yang turun-temurun hidup dari perahu kecil dan jaring sederhana. Ia telah berubah jadi arena bancakan para cukong besar yang berwajah dua: dermawan di darat, perampok di laut.
Dan jika negara tetap abai, jangan salahkan jika sejarah kelam itu kelak dikenang dengan satu kalimat getir: “Di Tapak Kuda, laut mati bukan karena badai, tapi karena kerakusan manusia.”
(Z Lubis)