INformasinasional.com – Humbahas
Dibalik sorak-sorai kemenangan atlet beladiri Sambo dari Humbang Hasundutan (Humbahas), ada sosok perempuan yang berdiri tegak meski langkahnya tertatih. Rina Ompusunggu, S.Pd, bukan sekadar pelatih. Ia adalah ibu rumah tangga, pengabdi olahraga, sekaligus pejuang sunyi yang menolak menyerah meski minim dukungan finansial maupun perhatian dari daerahnya sendiri.
Lulusan Fakultas Olahraga Universitas Negeri Medan ini jatuh cinta pada dunia beladiri sejak muda. Gulat, judo, hingga sambo pernah ia tekuni. Dari kecintaannya itulah ia membangun pusat latihan sederhana, nyaris tanpa fasilitas memadai. “Saya tidak akan berhenti menyebarkan ilmu beladiri, meski harus berdarah-darah. Semua saya jalani dengan ikhlas dan tekad,” ujarnya kepada INformasinasional.com, sembari menunjukkan sertifikat pelatih dan wasit tingkat nasional yang telah ia raih.
Bagi Rina, melahirkan atlet yang berdiri di podium juara adalah tanggung jawab, bukan sekadar mimpi. “Kami berangkat ke setiap event bukan untuk jalan-jalan, tapi membawa nama Humbahas dengan medali. Itu target kami. Bukan omong kosong,” katanya, dengan mata yang berkaca-kaca.
Namun, prestasi yang dibawa pulang para atlet Sambo belum sebanding dengan apresiasi yang mereka terima. Pahit itu kembali terasa saat mereka mengikuti Kejurda Sambo Sumatera Utara pada 1–3 September 2025 lalu. Event yang sekaligus menjadi ajang seleksi menuju PON itu dijalani dengan penuh keterbatasan.
“Kami lakukan yang terbaik, meski kondisi terbatas. Tapi atlet kami dipanggil TC di Pemprov Sumut. Sayangnya, dukungan yang kami butuhkan belum kunjung datang,” keluhnya.
Ia menuturkan, kebutuhan sederhana seperti akomodasi dan konsumsi masih harus mereka pikirkan sendiri. “Pemprov hanya menyediakan penginapan. Kami masih harus berjuang mencari bantuan untuk makan dan kebutuhan lain. Kami sangat berharap ada perhatian dari pimpinan daerah Humbahas. Jangan biarkan semangat kami redup,” pintanya lirih.
Potret Rina bersama para atlet Sambo binaannya menjadi simbol perjuangan: semangat yang tak pernah padam, meski harus berjalan di lorong gelap tanpa cahaya perhatian. Kini, suara rintihannya menunggu untuk benar-benar didengar oleh para pemangku kebijakan.
(Glend Silaban)