INformasinasional.com, Nias Selatan – Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) kembali menyulut bara di Kabupaten Nias Selatan. Kepala SMP Negeri 1 Siduaori, Sadarman Tafona’o, naik pitam ketika namanya diseret dalam tuduhan tak mengusulkan guru honorer ke Dinas Pendidikan.
Fitnah itu beredar liar di media sosial. Narasi yang menyudutkan Sadarman menuding pihak sekolah lalai mengirim data guru, hingga nasib puluhan honorer tergadaikan. Sorotan publik pun mengarah kepadanya.
Sadarman melawan. Ia pasang badan membantah tudingan itu mentah-mentah.
“Kami sudah mengirim seluruh data guru honorer sejak awal sesuai mekanisme resmi. Tidak benar kalau kami tidak mengusulkan,” tegasnya dengan suara bergetar menahan amarah, Rabu (17/09/2024).
Namun klarifikasi Sadarman tak menghapus kenyataan pahit: 17 guru honorer SMPN 1 Siduaori gagal total dalam seleksi P3K.
Mereka bukan guru baru. Ada yang telah puluhan tahun mengajar dipelosok, hidup dengan gaji ala kadarnya, menembus badai birokrasi tanpa kepastian status. Kini, pengabdian panjang itu seolah dipatahkan dalam satu keputusan dingin bernama “tidak lolos P3K.”
Hemat Selamat Tel, salah seorang guru, menumpahkan kekecewaannya.
“Kami hanya ingin diperlakukan adil. Kami sudah mengabdi dengan segala keterbatasan, tapi hasilnya nihil,” ujarnya getir.
Nada serupa disampaikan Fidarmawati Bae’ne, yang menuntut keterbukaan informasi publik.
“Kami berharap pengabdian kami tak hanya jadi slogan. Kami ingin keadilan nyata, bukan sekadar kata-kata,” katanya lirih.
Suara mereka menggema ke ranah aktivis. Ketua DPP LSM Gempur Kepulauan Nias, Ama Sonia Zai alias Fati Zai, menyebut kegagalan para guru Siduaori adalah tamparan keras bagi pemerintah daerah.
“Saya mohon Bupati dan Wakil Bupati membuka mata. Ini bukan sekadar guru honorer, tapi pejuang pendidikan di kategori R3 dan R4. Mereka selayaknya diusulkan jadi P3K. Jangan biarkan birokrasi membunuh pengabdian,” tegasnya.
Kasus Siduaori ini menyingkap ironi: program P3K yang digadang sebagai jawaban justru melahirkan luka baru. Pertanyaan besar pun menggantung: apakah seleksi ini benar-benar meritokrasi atau hanya lotere birokrasi yang mengorbankan mereka di garis depan pendidikan?
Para guru honorer kini menunggu jawaban. Mereka tak hanya menagih keadilan, tapi juga menggugat nurani negara. Sampai kapan pengabdian di pelosok akan dibayar dengan janji kosong?
Reporter: Mareti Tafonao