INformasinasional.com, LANGKAT – Suasana Pajak Baru Tanjung Pura semakin panas. Alih-alih menjadi ruang rezeki rakyat kecil, pasar tradisional itu justru berubah menjadi ladang kutipan liar. Dari Rp8 ribu hingga Rp25 ribu per pedagang, setiap hari uang mengalir entah ke mana.
“Leher kami dicekik. Kami sudah tak sanggup lagi dengan kutipan seenaknya,” kata Lias, pedagang cabai, Sabtu, 20 September 2025. Suaranya bergetar, tapi matanya menyala penuh amarah.
Kekecewaan pedagang memuncak hingga akhirnya mereka menyeret masalah ini ke gedung DPRD Langkat. Rapat Dengar Pendapat (RDP) pun digelar. Harapan mereka sederhana: kepastian pengelola pasar dan berhentinya kutipan tak jelas. Namun, apa yang mereka dapat? Hanya janji, saran, dan surat bernomor 400.14.6-4253/DPRD/2025 yang merekomendasikan voting ulang pengelola.

Benang Kusut Pengelola Pasar
Secara hukum, pengelola pasar sudah dipilih lewat voting pada 8 April 2024. Nama Aan Arbani muncul sebagai pemenang. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba muncul sosok lain yang mengutip uang setiap hari. Tak ada SK, tak ada dasar hukum. Hanya kutipan.
Camat Tanjung Pura, Tengku Reza, mengaku serba salah. “Secara prinsip kami akan jalankan surat DPRD. Tapi keputusan lama masih berlaku. Nanti kita atur lagi mekanismenya,” katanya. Jawaban yang justru menambah kabut ketidakpastian.
Anggota DPRD Langkat, Romelta Ginting, mencoba menegaskan. “Amanat RDP harus segera dilaksanakan. Jangan biarkan pedagang terus resah,” katanya. Tapi di lapangan, resah tetap saja bercokol.
Pungutan Liar Berkedok Kutipan
Ironinya, pengutipan harian yang membebani pedagang dilakukan bukan oleh pengelola resmi hasil voting. Praktik ini tak ubahnya pungutan liar yang berkedok uang keamanan, kebersihan, dan lampu. Padahal, pedagang juga sudah membayar retribusi resmi ke Pemkab Langkat.
Situasi ini kian berbahaya. Pasar, jantung ekonomi rakyat, justru disandera kepentingan sempit. Pedagang kecil yang mestinya dilindungi, malah jadi korban. Mereka berdagang dengan perasaan waswas, dihantui pungutan liar, sementara pemerintah daerah seolah membiarkan masalah berlarut-larut.
Jika rekomendasi DPRD tak segera dijalankan, bara keresahan ini bisa meledak. Dan ketika rakyat kecil sudah kehilangan kesabaran, pasar bisa berubah jadi arena perlawanan.*
Discussion about this post