INformasinasional.com – Desa Bubun, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, tidak lagi hanya dihiasi suara ombak dan riak perahu nelayan. Dalam beberapa bulan terakhir, dentuman kabel seismik dan denyut mesin eksplorasi menjelma jadi latar baru kehidupan. Bagi masyarakat Melayu pesisir, bunyi itu bukan sekadar musik industrial, melainkan gema panjang dari sejarah energi yang terus bersinggungan dengan nasib mereka.
Setelah pagebluk Covid-19 menjerembabkan ekonomi pesisir, PT Energi Mega Persada (EMP) Gebang Limited kembali bangkit. Jejak mereka bukan cerita kemarin sore. Sejak awal 2000-an, perusahaan migas ini sudah menginjakkan kaki di Tapak Kuda, Pematang Cengal, Pantai Cermin, Kwala Langkat, hingga Kwala Serapuh. Kini, berkolaborasi dengan PT Gelombang Seismik Indonesia (GSI), EMP mencoba menegakkan kembali pilar ekonomi dengan bendera eksplorasi seismik.
Namun, EMP sadar, Langkat bukan hanya tanah basah penuh minyak, tetapi juga ladang adat. “Kami selalu menjunjung tinggi adat istiadat masyarakat Melayu Tanjung Pura,” kata Rony Lipaly, wajah terdepan EMP di Gebang.
Diperiode 2022–2023, EMP membuka pintu kerja bagi lebih dari 900 orang per hari. Mayoritas berasal dari desa sekitar. Para nelayan yang biasanya menggantungkan hidup dari lautan ikut terlibat, membentang kabel seismik, mengawal jalur darat hingga perairan. Meski bersifat sementara, geliat itu menghidupkan denyut ekonomi yang lama beku.
“EMP bukan hanya bicara sumur minyak, tapi membuka pintu rezeki,” ungkap seorang tokoh masyarakat setempat.
Seolah tak ingin sekadar jadi “tamu industri”, EMP mengusung program tanggung jawab sosial. Dari penyediaan air bersih di Desa Bubun, pembangunan rumpon laut bagi nelayan terdampak, hingga perbaikan jalan dan jembatan. Ada pula bantuan pendidikan, kesehatan, budaya, sampai penanaman mangrove untuk menahan abrasi. Sebuah langkah yang jarang dilakukan perusahaan migas ditanah air.
Diplomasi Migas dan Adat
Langkah itu diperkuat diplomasi budaya. Rony Lipaly kerap turun langsung, menemui Forkopimcam, bersua dengan tokoh adat. Di Tanjung Pura, suara adat masih lantang. Siapa pun yang melangkah tanpa “izin budaya” akan berhadapan dengan konflik sosial.
“Saya mengapresiasi langkah EMP,” kata Jumino, Kepala Staf Korps Bela Negara Indonesia (KBNI) Langkat. Baginya, EMP bukan hanya hadir sebagai entitas industri, tapi juga bagian dari denyut sosial sampai ekonomi. Ia bahkan menautkan kiprah EMP dengan visi energi nasional: “Saya seirama dengan Presiden Prabowo Subianto. Migas harus dikejar sampai 1 juta barel per hari.”
Perjalanan EMP di Langkat memang berliku. Dari Tapak Kuda hingga kini ke Bubun, perusahaan menempuh jalan panjang, kadang terseok dihantam pandemi. Kini, mesin kembali panas, kabel seismik kembali membentang, dari darat hingga laut. Analisis bawah tanah yang dilakukan bukan semata peta cadangan energi, tapi juga peta masa depan Langkat.
Pertaruhan EMP jelas, menjaga kepercayaan publik sembari memenuhi target produksi. CSR dan tenaga kerja lokal hanyalah satu sisi mata uang. Di sisi lain, masih menggantung pertanyaan klasik: apakah eksplorasi ini benar-benar akan memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat pesisir?
Untuk saat ini, Bubun dan desa-desa sekitar memang sedang menikmati denyut ekonomi baru. Jalan diperbaiki, rumpon laut ditebar, mangrove ditanam. Namun sejarah panjang industri migas di Indonesia sering kali berakhir dengan janji manis yang pudar.
Langkat kini menunggu jawabannya: apakah EMP Gebang Limited akan tercatat sebagai kisah energi yang menyejahterakan masyarakat, atau sekadar episode singkat dalam bab panjang eksploitasi migas negeri ini? (Ramlan)
Discussion about this post