INFORMASINASIONAL.COM*
HUJAN deras yang mengguyur Desa Kwala Gebang kecamatan Gebang, selama ini kerap jadi mimpi buruk bagi sebagian besar warganya. Atap bocor, dinding rapuh, lantai tanah becek, begitulah potret nyata kehidupan puluhan keluarga di desa itu. Namun, Rabu (24/9/2025) siang, wajah mereka mendadak berbinar. Satu demi satu kunci rumah baru diserahkan. Sebanyak 51 unit Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) resmi direhab dan diluncurkan oleh Bupati Langkat H Syah Afandin SH.

Momen itu bukan sekadar seremonial potong pita. Dimata warga, inilah jawaban atas doa panjang yang nyaris kehilangan harapan. Dipanggung yang sederhana, Syah Afandin berdiri, suaranya tegas menembus riuh tepuk tangan.
“Renovasi ini bukan hanya soal dinding dan atap. Ini soal martabat manusia. Rumah layak adalah hak rakyat, bukan hadiah,” kata Afandin.
Meski penuh sorak gembira, angka itu sesungguhnya masih setetes dilautan masalah. Data Pemkab Langkat menyebut, terdapat 18.806 unit RTLH tersebar diberbagai desa. Dengan target 1.000 rumah per tahun, butuh hampir dua dekade untuk menuntaskan. Sementara setiap tahun, rumah-rumah rapuh itu terus bertambah.
“Ya memang belum sebanding, tapi pemerintah wajib hadir. Sedikit demi sedikit kita kejar ketertinggalan ini,” kata Syah Afandin lagi.

Kalimat itu terdengar seperti janji, tetapi sekaligus pengakuan bahwa pekerjaan rumah Langkat masih menumpuk.
Langkah Pemkab Langkat sejalan dengan program nasional Presiden Prabowo Subianto, membangun tiga juta rumah bagi rakyat. Retorika itu tak hanya bicara perumahan, melainkan soal hak asasi manusia dibidang papan. “Visi besar Presiden harus kita dukung dengan aksi nyata didaerah,” kata Afandin, seolah menyamakan langkah kecil Langkat dengan strategi nasional yang digadang-gadang. Jangan ada lagi RTLH didesa terpencil, hal ini diharapkan benar-benar menjadi bagian dari visi besar.
Dihadapan warga, Afandin mengajak semua pihak ikut terlibat. CSR perusahaan, Baznas, lembaga keagamaan, hingga masyarakat sendiri. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kita butuh gotong royong,” katanya.
Ajakan kolaborasi ini terdengar mulia. Tetapi, selama ini kontribusi sektor swasta di Langkat kerap minim dan setengah hati. Banyak perusahaan besar beroperasi, namun dampaknya kedesa-desa miskin belum terasa signifikan. Jika tanpa mekanisme kontrol yang ketat, kata “kolaborasi” bisa berakhir sebagai jargon kosong.

Selain hunian, Afandin juga menyebut proyek lain, perbaikan SD Negeri 053992 Kwala Serapuh dan jalan desa. “Ini bukti nyata pemerintah hadir sampai pelosok,” katanya.
Bagi warga, tentu ini kabar menggembirakan.
Kepala Desa Kwala Gebang, Bustami, bahkan menyebutnya “perhatian yang luar biasa.” Ini bukti dan bukan kontestasi politik. Masyarakat butuh kehadiran pemerintah yang konsisten.
Tangis Syukur dari Rumah Rapuh
Dibalik semua perdebatan, ada kisah kecil yang tak bisa disangkal. Siti Aminah (45), ibu tiga anak, tak kuasa menahan air mata. “Dulu rumah kami bocor, anak-anak ketakutan tiap hujan deras. Sekarang kami bisa tidur tenang,” katanya, lirih.
Abdul Rahman (52), buruh tani, mengangguk penuh haru. “Kami tak mungkin bangun rumah sendiri. Bantuan ini anugerah besar.”
Bagi mereka, rumah baru bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol harga diri, perlindungan, dan harapan.
Rehab 51 rumah di Kwala Gebang adalah langkah kecil, tapi dampaknya nyata. Ia menunjukkan bahwa pemerintah bisa hadir, bila mau. Namun, jalan menuju Langkat tanpa rumah kumuh masih panjang dan terjal.
“Langkat tidak boleh ada warga yang tinggal dirumah tidak layak,” kata Syah Afandin mengakhiri pidatonya. Kalimat itu menggema bak manifesto. Hunian layak, martabat terjaga. Harapan rakyat Langkat baru saja dimulai. (INformasinasional.com/Misno)
Discussion about this post