INformasinadional.com, Saumlaki — Kisah pemecatan paksa petugas keamanan bernama Coelestinus Fenyapwain (45) oleh PT Careguard Jasa Indonesia bukan sekadar persoalan individu. Ia menjadi simbol dari problem sistemik dalam dunia outsourcing pekerja keamanan, didukung oleh data nasional yang menunjukkan bahwa banyak pekerja outsourcing hidup dalam ketidakpastian dan kerentanan hak.
“Saya tak pernah meninggalkan pos” Versi Coelestinus
Coelestinus, yang memperkuat barisan pengaman perusahaan sejak 2009, mengaku bingung ketika tiba-tiba menerima Surat Keputusan pemecatan tanggal 25 September 2025. Alasannya, indisipliner karena meninggalkan pos jaga. Padahal, menurut dia, Ia hanya keluar sebentar untuk membeli makanan, namun tetap berada diarea kantor sepanjang malam.
Surat Peringatan (SP1 dan SP2) yang diterimanya tidak jelas dalilnya.
Saat diminta memberikan klarifikasi dan bukti patroli, ia tidak pernah diminta secara tertulis secara rinci.
“Saya tidak pernah merasa melakukan kesalahan,” tegasnya, Kamis (2/10/2025). Ia kini menuntut keadilan dan akan mendatangi Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Kepulauan Tanimbar, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk banyak rekan mereka yang nasibnya sama.
Versi Perusahaan, Bukti Zoom & Ketidakhadiran Pos
Dipihak PT Careguard, pernyataan sangat berbeda. Miftah Juan sebagai perwakilan perusahaan menyebut bahwa pada 10 September dini hari (pukul 01.01 dan 04.00), Telkom Saumlaki menggelar Rehearsal Power yang dipantau pimpinan melalui Zoom. Didua momen itu, petugas keamanan yang ikut patroli tak melihat Coelestinus berada dilokasi menurut laporan resmi.
Perusahaan klaim sudah meminta bukti patroli tertulis dari Coelestinus sebelum tanggal 15 September, namun tak diterima. Akhirnya, tindakan pemecatan dianggap sebagai konsekuensi ketidakdisiplinan sesuai prosedur internal mereka.
Menyingkap Pola Sistemik dari Kasus Individu
Tak pantas jika kasus ini hanya dianggap “kesalahan personal.” Dunia outsourcing pekerja keamanan selama ini sudah menyembunyikan banyak luka.
1. Skala Besar – Derita Berskala Nasional
Sekitar 7,4 juta pekerja outsourcing di Indonesia (2024) tersebar diberbagai sektor. Sekitar 60 % dari mereka tidak memahami cara mencairkan tunjangan JHT karena tidak terdaftar atau kontrak mereka berakhir sebelum memadai.
Dalam survei dan literatur, pekerja outsourcing sering mengalami upah lebih rendah dibanding pekerja tetap atau kontrak di perusahaan pengguna.
2. Ketiadaan Regulasi Khusus dan Pengawasan Lemah
Indonesia belum memiliki perangkat undang-undang khusus mengenai status pekerja outsourcing yang menjamin kepastian hukum. Dalam praktiknya, meskipun UU Ketenagakerjaan mengatur Pasal 64–66 tentang outsourcing, tanggung jawab pemenuhan hak sering diperebutkan antara perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pengguna.
Ketimpangan pengawasan menjadi masalah: data lama menunjukkan rasio pengawas ketenagakerjaan jauh lebih kecil dibanding jumlah perusahaan yang harus diawasi, membuka ruang untuk pelanggaran tanpa konsekuensi nyata.
3. Diskriminasi Hak & Status Rentan
Pekerja outsourcing sering dibatasi dalam hal hak serikat, karir naik jabatan, tunjangan, dan kepastian status kerja. Banyak kasus dimana pekerja outsourcing tak mendapatkan jaminan kesehatan, pesangon, atau fasilitas minimal, padahal secara hukum hak-hak tersebut bersifat universal.
Kasus ini harus dilihat bukan sebagai masalah personal, melainkan sebagai alarm reformasi. Apakah pemecatan telah melalui prosedur yang adil dan transparan? Siapa yang bertanggung jawab: penyedia jasa, perusahaan pengguna, atau keduanya? Apakah Dinas Ketenagakerjaan siap menindak tegas bila ada pelanggaran norma ketenagakerjaan? Apakah regulasi nasional sudah memadai untuk melindungi ribuan pekerja outsourcing yang berada di lapangan, jauh dari sorotan publik?
(Laporan: Johanis Kopong)
Discussion about this post