INformasinasional.com, LANGKAT – Petang itu, Jumat 3 Oktober 2025, langit Pangkalan Berandan mulai menggelap. Disebuah lorong sempit dibelakang Toko Zon Ria, Jalan Irian Barat, suasana mendadak tegang. Sekelompok pria berkaus lusuh, memanggul senapan angin, menatap gelisah kearah pepohonan. Mereka bukan pasukan polisi, melainkan warga biasa yang tergabung dalam tim relawan.
Ketika seekor monyet liar muncul, melompat didahan dan menatap dengan tatapan liar, salah satu relawan, Doni Eka Putra (43), tak menunggu lama. Laras senapan PCP diacungkan kedada hewan itu. Satu peluru melesat. Sekejap kemudian, monyet itu tersungkur. Sunyi. Warga yang menonton dari kejauhan bersorak lega.
“Sudah beberapa minggu monyet itu bikin onar. Anak-anak nggak berani main keluar. Orang jualan pun was-was,” ujar Karsa Abdi Prayogi (43), salah satu relawan, kepada wartawan.
Bagi warga Pangkalan Berandan, monyet itu lebih dari sekadar binatang. Ia jadi momok, teror yang membuat orang dewasa kehilangan nyali dan anak-anak dicekam trauma. Sejumlah warga mengaku pernah dikejar. Ada yang jatuh hingga luka. Ada pula yang kehilangan barang dagangan karena ulah monyet itu.
“Bayangkan, tiap sore orang takut keluar rumah. Rasanya seperti hidup dibayang-bayangi teroris,” kata Syafrin (43), relawan lainnya.
Ketakutan itu akhirnya berujung pada pembentukan tim relawan. Nama-nama mereka kini dielu-elukan bak pahlawan kampung, Doni Eka Putra (43), Rudy Hubtiro (40), Replizar (65), Ferdinsyah (40), Syafrin (43), Karsa Abdi Prayogi (43), dan Mulyono (40).
Begitu eksekusi selesai, monyet yang sudah tak bernyawa dibawa ke Polsek Pangkalan Berandan. Kapolsek, AKP Amrizal Hasibuan SH MH, menerima bangkai itu dengan penuh formalitas, seolah sedang menerima barang bukti kejahatan. Turut mendampingi, Lurah Brandan Barat dan tokoh masyarakat H Syahrum Hakim.
“Warga boleh kembali tidur nyenyak. Ancaman sudah berakhir,” kata Syahrum, memberi testimoni.
Monyet itu kemudian dikubur malam itu juga. Prosesi penguburan dilakukan sederhana, tanpa nisan, hanya tanah yang ditimbun. Usai pemakaman, sekitar pukul 21.00 WIB, suasana kampung kembali normal.
Namun, dibalik rasa lega warga, tersisa sejumlah pertanyaan. Dari mana asal monyet ini? Mengapa ia bisa begitu agresif terhadap manusia?
Sejumlah aktivis lingkungan yang ditemui menilai kasus ini tak bisa dipandang remeh. “Konflik manusia dengan satwa liar bukan hanya soal keberanian relawan atau kecepatan tembakan. Ini alarm keras. Habitat hewan semakin sempit. Hutan ditebang, ruang hidup mereka tergerus, akhirnya mereka turun ke kota,” ujar seorang pemerhati lingkungan di Langkat.
Data BKSDA Sumut mencatat, dalam lima tahun terakhir konflik manusia dengan satwa liar meningkat dari harimau di Tapanuli Selatan, gajah di Aceh Tamiang, hingga monyet dikota-kota kecil. Semua bermuara pada satu masalah, rusaknya ekosistem.
Bagi warga Pangkalan Berandan, keberhasilan tim relawan adalah kemenangan. Masyarakat kembali merasa aman. Namun, apakah kemenangan ini hanya sementara?
“Kalau hutan makin gundul, jangan kaget kalau besok bukan monyet, tapi babi hutan, ular, atau hewan lain yang masuk kota,” kata seorang warga tua.
Malam itu, Pangkalan Berandan memang bebas dari teror monyet. Tapi cerita seekor primata yang mati diujung peluru menyimpan ironi, manusia merasa lega, alam kehilangan satu lagi penghuni.
(Suhendra/Red)
Discussion about this post