INFORMASINASIONAL.COM*
EFORIA pengangkatan ribuan tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, mendadak ternoda. Dibalik gegap gempita pelantikan yang disambut isak haru para tenaga sosial, terkuak praktik culas, ASN rangkap jabatan.
Alih-alih menanggalkan kursi lamanya di desa atau kelurahan, sejumlah aparatur justru mempertahankan jabatan sebagai Kaur, Kepala Dusun, bahkan anggota hingga Ketua BPD. Artinya, mereka kini menikmati dua kursi sekaligus, dengan dua gaji dari kantong negara.
Dari Honorer ke ASN, Perjuangan Panjang yang Berbuah Ironi
Bagi banyak orang, status ASN atau P3K adalah cita-cita mulia. Bertahun-tahun mereka bertahan sebagai honorer, tenaga suka rela, hingga petugas sosial dengan bayaran tak menentu. Setelah melalui seleksi panjang, akhirnya pemerintah mengangkat ribuan orang menjadi P3K, termasuk 161 orang dari formasi TKSK, PKH, dan pekerja sosial di Langkat yang baru saja dilantik Menteri Sosial Saifullah Yusuf.
Namun, harapan yang seharusnya menjadi babak baru justru diwarnai praktik kotor. Oknum-oknum yang baru saja mendapat status jelas sebagai abdi negara ternyata enggan meninggalkan kursi lamanya.
Fenomena rangkap jabatan ini bukan sekadar pelanggaran etika. Sejumlah aturan tegas sudah menutup pintu bagi praktik culas tersebut, mulai dari UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 5/2014 tentang ASN, UU No. 6/2014 tentang Desa, Permendagri No. 110/2016 tentang BPD, hingga PP No. 49/2018 tentang Manajemen P3K.
Tapi kenyataan dilapangan berkata lain. Seorang ASN yang merangkap jabatan perangkat desa otomatis menerima dua sumber gaji, dari APBD dan dari anggaran desa. Dalam bahasa lugas, mereka sedang menguras uang negara dengan cara yang sah diatas kertas, namun jelas melanggar hukum.
“Ini bukan sekadar administrasi. Ini bentuk korupsi senyap yang menggerogoti keuangan publik,”
Bupati Afandin Dipersimpangan Jalan
Langkah Bupati Langkat, H Syah Afandin SH, mengangkat ribuan P3K sebenarnya dipandang progresif. Ditengah keterbatasan fiskal, ia memilih berani menanggung risiko demi memberi kepastian status bagi tenaga honorer. Namun keberanian itu kini diuji oleh ulah segelintir oknum.
Jika fenomena rangkap jabatan dibiarkan, kebijakan mulia itu bisa tercoreng dan justru menjadi preseden buruk. Publik menunggu ketegasan Afandin, apakah akan membersihkan birokrasi dari wajah gelap ASN culas, atau membiarkan borok ini tetap menganga.
Ditengah keterbatasan anggaran negara, publik punya peran besar. Masyarakat desa dan kelurahan diminta aktif melaporkan praktik rangkap jabatan kepemerintah daerah maupun aparat penegak hukum. Jika ditemukan bukti ASN yang masih bertahan didua kursi sekaligus, laporan bisa menjadi pintu bagi penindakan hukum.
Sebab, asas umum pemerintahan yang baik jelas melarang rangkap jabatan. Lebih dari itu, publik punya hak moral untuk menyelamatkan uang negara dari aksi culas dan perbuatan rasuah.
Kasus ini bukan sekadar soal jabatan ganda, melainkan ujian serius bagi penegakan hukum di Langkat. Jika praktik ini dianggap biasa, maka supremasi rente akan mengalahkan supremasi hukum.
Dimata rakyat, para ASN rangkap jabatan bukanlah abdi negara, melainkan predator anggaran. Mereka bukan penyelamat masyarakat, melainkan penyedot uang rakyat.
Dan dalam semangat pemberantasan korupsi, dua kursi dan dua gaji itu tak lain adalah wajah gelap ASN P3K di Langkat.*
(Penulis: Pemimpin Redaksi INformasinasional.com)
Discussion about this post