INformasinasional.com, Samosir – Ribuan pelari internasional akan menjejaki jalur ekstrem Danau Toba lewat Trail of The Kings (TOTK) pada 17 Oktober 2025. Pada hari yang sama, masyarakat Batak merayakan Hari Ulos Nasional, warisan budaya yang sarat makna. Dua panggung besar ini kini bertabrakan ditanah yang sama: Samosir.
Dipermukaan, benturan jadwal terlihat sekadar soal teknis. Namun, penelusuran lebih dalam menunjukkan aroma kepentingan ekonomi, lobi sponsor, dan strategi branding politik dibalik kekukuhan Pemerintah Provinsi Sumut mempertahankan jadwal TOTK.
TOTK bukan sekadar lomba lari lintas alam. Event ini masuk dalam kalender sport tourism dunia, dengan dukungan sponsor besar dari industri pariwisata, transportasi, hingga perhotelan. Data yang diperoleh redaksi menyebut, sedikitnya ada lima perusahaan nasional dan dua brand internasional yang sudah meneken kontrak dukungan finansial untuk TOTK 2025. Nilainya ditaksir mencapai miliaran rupiah.
“Kalau jadwal diubah, sponsor bisa mundur. Kontrak bisa batal. Ini bukan hanya olahraga, tapi bisnis besar,” ujar seorang pejabat Pemprov Sumut yang enggan disebut namanya.
Disisi lain, Hari Ulos Nasional tidak punya “mesin uang” sebesar TOTK. Anggarannya kecil, disokong pemerintah daerah dan komunitas budaya. Namun, bobotnya jauh lebih simbolis. Ulos adalah identitas Batak, kain warisan leluhur yang diakui sebagai kekayaan budaya nasional.
“Kenapa budaya harus selalu mengalah? Ulos itu roh Batak. Kalau perayaannya sekadar ditempel di pinggiran TOTK, itu sama saja melecehkan identitas,” tegas Efendy Naibaho, Ketua Yayasan Pusuk Buhit, Senin (6/10/2025)
Sorotan publik kini tertuju ke Gubernur Sumut, Bobby Nasution. Sebagai menantu Presiden Jokowi, Bobby punya kepentingan besar menjadikan Danau Toba sebagai Destinasi Super Prioritas yang sukses. Setiap event internasional seperti TOTK dianggap modal politik.
Sumber internal Pemprov menyebut, keputusan mempertahankan jadwal TOTK bukan hanya teknis, melainkan juga instruksi langsung dari atas. “TOTK adalah wajah pariwisata Sumut di dunia. Bobby ingin ini sukses tanpa hambatan,” kata sumber itu.
Dibalik benturan ini, ada pertarungan narasi. TOTK dipoles sebagai simbol modernitas: Sumut yang mampu menggelar event dunia. Hari Ulos dipandang sebagai simbol tradisi: Sumut yang berakar pada budaya.
Pertanyaannya, apakah pemerintah lebih memilih citra global ketimbang menjaga akar lokal?
Budayawan menilai, jika benturan ini dibiarkan, akan muncul preseden buruk. “Besok-besok, bisa saja perayaan adat lain disingkirkan demi festival turis. Ini soal keberpihakan,” ujar seorang akademisi di Universitas HKBP Nommensen.
Jejak sponsor TOTK kian memperjelas arah angin. Beberapa nama besar disektor penerbangan, jaringan hotel, dan travel internasional disebut masuk dalam lingkaran penyokong acara. TOTK juga disebut jadi pintu masuk investor properti yang tengah membidik kawasan Toba.
“Event olahraga hanya bungkus. Isinya adalah promosi tanah, hotel, dan paket wisata. Semua ini bisnis besar”
Kini, 17 Oktober 2025 bukan sekadar tanggal. Ia menjadi ujian identitas bagi Sumatera Utara: apakah pemerintah benar-benar menempatkan budaya sebagai fondasi pariwisata, atau sekadar menjadikannya dekorasi ditengah pesta internasional.
TOTK dan Hari Ulos akan berjalan bersamaan. Ribuan pelari asing melintas dijalur trail, sementara ditepi Danau Toba, ulos dibentangkan, gondang dipukul, dan tor-tor digelar. Dua dunia, dua kepentingan, dua arah masa depan Sumut.
Apakah harmoni akan tercipta, ataukah budaya kembali kalah dalam arena politik dan bisnis pariwisata? Jawabannya akan terlihat ketika lampu sorot internasional menyoroti Danau Toba pada pertengahan Oktober nanti.(Misn’t)
Discussion about this post