INformasinasional.com, JAKARTA– Krisis pangan ternyata bukan hanya soal sawah yang kering atau harga gabah yang melambung. Dibalik pintu besi gudang-gudang Bulog, tersimpan fakta yang jauh lebih ironis, jutaan ton beras menumpuk tak tersalurkan, sebagian bahkan sudah menurun mutu.
Data terbaru yang dipaparkan Direktur Kewaspadaan Pangan Bapanas, Nita Yulianis, pada rapat koordinasi inflasi Senin (6/10/2025) mencengangkan. Dari total stok 3,84 juta ton beras yang dikuasai Perum Bulog, sebanyak 1,45 juta ton atau hampir 38 persen telah lebih dari enam bulan mengendap.
Lebih parah lagi, 29,99 ribu ton beras sudah mengalami penurunan mutu. Dari jumlah itu, sekitar 26,89 ribu ton berasal dari impor, sedangkan sisanya 3 ribu ton hasil pengadaan dalam negeri. Artinya, bukan hanya beras rakyat, tetapi juga beras hasil diplomasi dagang Indonesia dengan luar negeri, ikut membusuk digudang.
“Bulog perlu melakukan reprocessing, yakni pembersihan hingga pencucian ulang, agar beras yang turun mutu bisa diselamatkan,” kata Nita. Ia juga mendesak Bulog memperketat pengujian kualitas cadangan beras pemerintah (CBP) agar yang sampai ke masyarakat benar-benar layak dikonsumsi.
Yang membuat publik geram, tumpukan beras Bulog justru terjadi ditengah melonjaknya harga beras dipasar. Dibanyak daerah, harga beras medium sudah jauh menembus harga eceran tertinggi (HET). Rumah tangga miskin menjerit, dapur-dapur nyaris padam, tetapi jutaan ton beras malah jadi penghuni tetap gudang negara.
“Ini aneh. Kalau distribusi lancar, harga dipasar mestinya terkendali. Ada yang salah urus,”
Tersendatnya distribusi beras Bulog bukan barang baru. Sudah bertahun-tahun publik mencium aroma masalah, dari prosedur distribusi yang berbelit, birokrasi yang lamban, hingga dugaan adanya “pemain besar” yang mengatur ritme penyaluran.
Tumpukan stok lama bisa jadi akibat tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat, daerah, dan jaringan perdagangan besar. “Kadang gudang penuh, tapi instruksi penyaluran tak kunjung turun. Sementara pedagang swasta leluasa memainkan harga.
Jika benar demikian, 1,45 juta ton beras yang mengendap bukan sekadar soal teknis, tapi bisa mengarah pada skandal pangan. Negara membeli, menyimpan, bahkan mengimpor beras dalam jumlah besar dengan alasan stabilisasi. Namun hasil akhirnya: beras membusuk digudang, rakyat tetap membeli mahal dipasar.
Bom Waktu Pangan Nasional
Penurunan mutu beras impor juga menyingkap borok lain. Beras impor yang didatangkan dengan biaya besar ternyata tak segera disalurkan. Padahal, alasan impor selalu dikaitkan dengan stok yang menipis dan ancaman krisis pangan.
“Kalau beras impor justru membusuk, itu pemborosan uang negara. Nilainya bisa triliunan rupiah,” kata seorang analis kebijakan pangan di Jakarta.
Kondisi ini ibarat bom waktu. Jika distribusi tak segera dipercepat, kualitas beras makin tergerus. Bulog bakal menghadapi risiko besar: stok yang tersisa tak layak konsumsi, sementara kebutuhan pangan rakyat makin mendesak.
Pertanyaan publik kini menggantung: siapa yang bertanggung jawab atas gunung beras yang mandek ini? Apakah Bulog sebagai operator, Bapanas sebagai regulator, atau pemerintah yang terus mendorong impor tanpa memperhitungkan kapasitas distribusi?
Yang jelas, beras bernilai ratusan triliun rupiah kini terancam sia-sia. Lebih ironis lagi, disaat rakyat antre bantuan pangan, sebagian beras negara hanya menunggu waktu menjadi pakan ternak atau limbah.
Jika tak segera ditangani, kasus ini bisa berubah menjadi skandal pangan terbesar dekade ini, skandal yang mencatatkan jejak kelam: negara gagal memberi makan rakyatnya, meski gudangnya penuh beras.(Misn’t)
Discussion about this post