
INformasinasional.com, Labuhanbatu – Sejumlah kalangan pejabat teras diduga gerah dampak pemberitaan media massa terkait indikasi rumah dinas (Rumdis) Bupati Labuhanbatu di jalan WR Supratman, Rantauprapat menyerobot lahan PT KAI. Akibatnya, Kepala Bidang (Kabid) Aset, Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kabupaten Labuhanbatu yang sebelumnya sebagai narasumber kena “semprot”.
“Kabid dipanggil atasan akibat memberikan informasi itu (status lahan Pendopo),” kata Sekretaris DPKAD Labuhanbatu, Ahmad Syarifuddin, Rabu 8 Oktober 2025 di ruang kerjanya.
Menurut Ahmad, pejabat teras di pemerintahan itu menegur keras Kabid Aset. Katanya, tidak selayaknya memberikan data dan informasi langsung ke pihak wartawan.
“Tidak selayaknya Kabid memberikan data langsung,” urainya.
Sedangkan semestinya melalui mekanisme dan prosedural yang ada. Yakni, melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo).
“Seharusnya setiap orang ataupun wartawan mesti mengikuti prosedur dengan mengisikan formulir di PPID,” jelasnya.
Kata dia, peraturan itu sudah lama ada. Namun, kedepan prosedur itu akan diterapkan secara kuat. Sehingga, corong informasi melalui PPID Diskominfo.
Untuk memperoleh informasi setelah pemohon mengisi formulir isian, maka PPID akan meneruskan ke organisasi perangkat daerah (OPD) terkait dan memberikan pemberitahuan tertulis dalam 10 hari kerja kepada pemohon.
“Bahkan bisa diperpanjang selama tujuh hari kedepan berisi informasi yang diminta,” tutupnya.
KIP tak Hambat Pers
Berbeda dengan pandangan Ketua Dewan Pembina Pusat LSM Gerakan Aliansi Rakyat Indonesia (GARI), Akhmat Saipul Sirait yang menilai hak publik dan insan pers untuk memperoleh informasi dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Serta Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
“Mekanisme PPID sebagaimana diatur dalam UU KIP tidak dimaksudkan untuk menghambat kerja jurnalistik, terutama dalam proses konfirmasi pemberitaan yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu,” ujarnya.
Kata Saiful, ketentuan jangka waktu 10 hari kerja yang diatur dalam PPID berlaku untuk permohonan informasi publik formal, bukan untuk konfirmasi berita. Apabila seluruh konfirmasi media dipaksa melalui PPID dengan batas waktu 10 hari, maka kebijakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 4 dan 18 UU Pers tentang larangan menghalangi kerja jurnalistik.
“Ketentuan dalam UU KIP terkait keterbukaan informasi dan Prinsip pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” ulasnya.
Langkah seperti itu juga dapat dikategorikan sebagai maladministrasi dalam bentuk penundaan berlarut. “Kami menegaskan, PPID tidak boleh menjadi tameng untuk menutup akses informasi publik, melainkan harus menjadi sarana memperkuat transparansi dan akuntabilitas,” paparnya.
Pemerintah daerah, tegasnya seharusnya membedakan dengan jelas antara konfirmasi pemberitaan yang harus dilayani cepat dan terbuka dengan permohonan informasi resmi yang melalui prosedur PPID sesuai ketentuan. (FDH)
Discussion about this post