INformasinasional.com, Kabul — Dentuman artileri memecah malam diperbatasan Afghanistan–Pakistan. Langit Khyber Pakhtunkhwa berpendar merah, disapu tembakan balasan. Dari balik pegunungan terjal yang memisahkan dua negara bersaudara tapi bermusuhan itu, pasukan Taliban dan tentara Pakistan saling menghujani peluru dalam baku tembak paling panas sejak Taliban kembali berkuasa di Kabul.
Sumber militer Afghanistan menyebutkan, bentrokan itu merupakan balasan atas serangan udara Pakistan yang disebut menghantam wilayah Kabul dan tenggara Afghanistan pada Kamis (9/10). “Sebagai respons atas pelanggaran kedaulatan kami, pasukan Taliban menyerang sejumlah pos Pakistan disepanjang perbatasan,” kata Juru Bicara Kementerian Pertahanan Taliban, Enayat Khowarazm, dengan nada berapi-api.
Ia menegaskan operasi itu “berhasil” dan selesai pada tengah malam, namun memperingatkan perang bisa kembali berkobar bila Islamabad kembali melintasi garis batas. “Jika mereka melanggar lagi, kami akan membalas lebih keras,” ujarnya.
Dari pihak seberang, militer Pakistan tak tinggal diam. “Pasukan kami merespons dengan tembakan gencar dan berhasil menembak jatuh tiga drone Afghanistan yang membawa bahan peledak,” kata seorang pejabat di Provinsi Khyber-Pakhtunkhwa. Ia mengakui baku tembak masih terjadi di empat titik perbatasan hingga Sabtu malam.
Namun Islamabad menolak tudingan bahwa mereka melakukan serangan udara ke Kabul. Sebaliknya, Pakistan menuding Taliban melindungi kelompok Taliban Pakistan (TTP), organisasi bayangan yang dituduh telah menewaskan ratusan prajurit Pakistan sejak 2021.
Kementerian Pertahanan Pakistan bahkan menyebut kesabaran mereka “hampir habis”. Menteri Khawaja Muhammad Asif menyampaikan diparlemen, “Kami sudah berulang kali memperingatkan Kabul. Tapi mereka terus memberi ruang bagi TTP. Kami tidak akan menoleransi ini lagi.”
Konflik dua negara yang dahulu sama-sama mengusung panji jihad ini kini berubah menjadi perang terbuka antara mantan sekutu ideologis. Taliban Afghanistan, yang sejak kembali berkuasa berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka moderat, kini justru menembakkan meriam ke arah negara yang dulu menjadi pelindungnya.
Pertempuran diperbatasan ini juga menambah panasnya suhu politik di kawasan. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyerukan “penahanan diri” dan memperingatkan potensi konflik regional. Tapi di lapangan, suara meriam berbicara lebih lantang dari diplomasi.
Sebuah laporan PBB awal tahun ini bahkan mengonfirmasi bahwa TTP “menerima dukungan logistik dan operasional signifikan dari otoritas de facto di Kabul”. Laporan itu kini terasa seperti ramalan yang menjadi kenyataan: kekerasan lintas batas meningkat, dan kedua negara tampak meluncur menuju perang berkepanjangan.
Dibalik asap mesiu dan retorika kedaulatan, satu hal tampak jelas: batas Afghanistan–Pakistan kembali menjadi garis api yang rapuh, tempat dua kekuatan bersenjata Islam saling menguji kesetiaan, kekuasaan, dan harga diri. Dunia menahan napas, karena ketika Taliban dan Pakistan saling menekan pelatuk, percikan apinya bisa membakar seluruh Asia Selatan.*
Discussion about this post