INformasinasional.com, JAKARTA — Setelah gelombang euforia publik atas penghapusan tunjangan perumahan DPR mereda, muncul kabar baru yang membuat dahi rakyat berkerut, dana reses anggota DPR melonjak jadi Rp 702 juta per orang. Lonjakan nyaris dua kali lipat dari periode sebelumnya itu sontak memantik kritik tajam dari kalangan pengamat.
“Kita seperti kena prank massal dari DPR,” ujar Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, tajam. Ia menyebut publik seolah ditenangkan dengan pencitraan penghapusan tunjangan Rp 50 juta per bulan, sementara dibalik layar, parlemen menyiapkan kompensasi yang jauh lebih gemuk.
“Kita dibikin puas dan senang karena tunjangan perumahan dihapus, tapi diam-diam muncul tunjangan lain yang lebih fantastis. Ini bukan kebijakan, ini strategi komunikasi yang lihai,” sindir Lucius, Minggu (12/10/2025).
Menurutnya, misteri cepat terpecahkan, mengapa tak ada satupun anggota DPR yang bersuara keras soal kehilangan tunjangan perumahan. “Sekarang jelas. Kalau ada dana reses Rp 702 juta menunggu, siapa yang masih menangis kehilangan Rp 50 juta?” katanya.
Lucius menuding, selama ini reses hanya formalitas administratif yang minim pengawasan. Aspirasi rakyat nyaris tak terdengar, sementara pertanggungjawaban dana nyaris tak ada.
“Mekanisme pertanggungjawaban dibikin selonggar mungkin. Supaya bisa diakali. Reses akhirnya bukan lagi soal rakyat, tapi soal tambahan pendapatan,” ujarnya.
Ia juga menggugat fungsi reses itu sendiri. “Coba sebutkan aspirasi rakyat mana yang benar-benar diperjuangkan setelah reses?” tantangnya. “Yang ada cuma foto-foto kunjungan dan laporan kegiatan seadanya.”
DPR Santai Menjawab: “Kegiatan Bertambah”
Dari sisi parlemen, nada penjelasan terdengar datar dan administratif. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, membenarkan kenaikan dana reses itu.
“Ya, betul, untuk periode 2024–2029 ada kenaikan. Karena jumlah kunjungan meningkat dan indeks kegiatan naik,” ujar Dasco, Sabtu (11/10/2025).
Dasco berdalih, reses merupakan momentum penting bagi anggota dewan untuk menyerap aspirasi rakyat didaerah pemilihan (dapil) masing-masing. Karenanya, kenaikan dana dianggap wajar.
Namun, ia tak menjelaskan lebih jauh bagaimana mekanisme pengawasan dana jumbo itu akan diperketat.
Kenaikan dana reses ini menambah daftar panjang “privilege senyap” DPR ditengah sorotan publik soal etika dan moralitas pejabat. Setelah tunjangan perumahan dihapus akibat tekanan massa pada Agustus lalu, DPR seolah menebusnya lewat jalur lain, halus, tetapi jauh lebih menguntungkan.
Formappi menilai, langkah itu tak sekadar persoalan anggaran, melainkan penghinaan terhadap akal sehat publik.
“DPR seperti bermain drama dua babak, babak pertama bikin rakyat senang, babak kedua mereka berpesta dibalik layar,” kata Lucius.
Dengan total 580 anggota DPR, dana reses Rp 702 juta per orang berarti sekitar Rp 406 miliar sekali turun ke daerah. Jika reses dilakukan tiga kali setahun, nilainya mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun.
Namun hasilnya?
Jalan rusak tetap berlubang, harga pangan tetap mencekik, dan aspirasi rakyat tetap menguap diruang sidang Senayan.
“Lucunya, mereka bilang reses untuk rakyat,” tutup Lucius getir. “Tapi yang paling sibuk menikmati hasilnya justru bukan rakyat, melainkan wakilnya sendiri.”
Reporter: Misno Adi
Discussion about this post