INformasinasional.com, Jakarta — Aura kekuasaan di Riau rupanya berpendar dari satu pusat cahaya “matahari” tunggal yang tak boleh dibantah. Begitulah Gubernur Riau Abdul Wahid membangun orbit kekuasaannya sejak hari pertama menjabat. Kini, cahaya itu meredup dibawah sorotan tajam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkap skenario yang menyerupai doktrin feodal dijantung birokrasi Riau. “Awal menjabat, dia kumpulkan semua kepala dinas, kepala UPT. Ditekankan, mataharinya satu: gubernur. Semua harus tegak lurus,” ujar Asep dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Dibalik pertemuan itu, terselip pesan gelap: loyalitas mutlak diukur dari seberapa dalam para pejabat mau menyetor “tribut” kepada sang penguasa daerah. Dari Dinas PUPR PKPP Riau, Wahid diduga memeras anak buahnya sendiri melalui Kepala Dinas dan para Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang jalan dan jembatan.
“Yang tidak nurut akan dievaluasi. Artinya, bisa dimutasi atau dicopot,” lanjut Asep menggambarkan ancaman yang mengiringi setiap instruksi Wahid.
Tak lama setelah “sumpah setia” itu diucapkan, arus uang mulai mengalir bukan kekas daerah, melainkan kekantong kekuasaan pribadi. Permintaan-permintaan uang disebut dilakukan melalui tangan kanan sang Gubernur, yakni Kepala Dinas PUPR M Arief Setiawan, dibantu Tenaga Ahli Gubernur Dani M Nursalam.
KPK tak hanya menemukan bukti transaksi rupiah. Dari penggeledahan rumah Wahid dikawasan Jakarta Selatan, penyidik menemukan mata uang asing, pound sterling dan dolar Amerika, jejak konkret bahwa korupsi tak lagi berbau lokal.
Kini, Wahid bersama dua kroninya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 12e, 12f, dan 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah yang jatuh bukan karena kalah dalam pemilu, tapi karena terperosok oleh kerak keserakahan. Abdul Wahid, yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin muda yang religius, kini justru tercatat sebagai “matahari” yang membakar orbitnya sendiri.
Dibalik laku “tegak lurus” yang ia minta dari bawahannya, justru terkuak kenyataan pahit: kekuasaan tanpa kontrol hanya melahirkan korupsi yang sistemik, dan ketika matahari terlalu panas, semesta kekuasaan itu akhirnya meledak dari dalam.(Misn’t)






Discussion about this post