INformasinasional.com, BENER MERIAH — Deru baling-baling memenuhi udara Aceh dan Sumatera Utara. Puluhan helikopter dan pesawat dikerahkan terburu-buru untuk menembus kabut bencana yang menelan rumah, desa, hingga masa depan ribuan warga. Ditengah kekacauan itu, Presiden Prabowo Subianto turun langsung ke posko pengungsian SMP Negeri 2 Wih Pesam, Bener Meriah. Kedatangannya bukan sekadar kunjungan: ini panggung krusial untuk menjawab pertanyaan besar, seberapa siap negara menghadapi bencana sebesar ini?
“Puluhan helikopter, puluhan pesawat sudah kita kerahkan,” kata Prabowo, Jumat (12/12/2025). Suaranya mengambang diudara yang basah oleh aroma lumpur dan kelelahan.
Namun dibalik kalimat itu, kondisi dilapangan berbicara lebih keras, bantuan masih tersendat, akses darat lumpuh, dan banyak warga bertahan hidup hanya dengan mie instan yang diterjunkan dari udara.
Prabowo melempar janji yang tak kecil, seluruh rumah warga yang hancur akan diganti. Semua. Tanpa terkecuali.
Namun ia langsung memasang disclaimer paling jujur yang keluar dari seorang presiden dalam situasi krisis.
“Saya mohon maaf, Presiden RI tidak punya tongkat Nabi Musa. Tidak punya. Tapi kita akan bekerja keras.” tegas Prabowo.
Pernyataan itu membuat banyak kepala mengangguk, bukan hanya karena memahami, tapi karena selama ini mereka memang tak melihat keajaiban apa pun dari negara.
Operasi udara terbesar tahun ini dilakukan lintas institusi. TNI, Basarnas, Polri, dan kementerian terkait menyatukan armada. Dari Super Puma hingga CN-295, langit dipenuhi manuver darurat yang menjemput warga dari desa yang terputus.
Namun fakta dilapangan tetap telanjang, banyak desa belum tersentuh, laporan korban terus bertambah, dan posko pengungsian menjerit kekurangan.
Disalah satu sudut posko, ibu-ibu mengantre air panas untuk menyeduh susu bayi. Disisi lain, anak-anak tidur beralaskan tikar basah. Diatas kepala mereka, helikopter lewat, terus lewat, tapi bantuan belum memadai.
Lawatan Luar Negeri dan Kritik yang Tak Terhindarkan
Prabowo mengakui bahwa kunjungannya sebelumnya ke Aceh sempat terhenti karena harus terbang ke Pakistan dan Rusia. Keputusan itu memancing kritik, terutama dari publik Aceh yang merasa ditinggalkan saat banjir mencapai puncak.
“Saya tiba jam 3 pagi di Kualanamu, langsung ke Tamiang. Saya monitor terus.” kata Prabowo.
Didaerah bencana, yang paling dibutuhkan warga kini bukan pengawasan jarak jauh, tetapi eksekusi cepat.
Presiden berulang kali menegaskan,
“Bapak-ibu tidak akan sendiri. Kita akan bersama.” Tapi pertanyaan besar masih menggantung, berapa lama warga harus menunggu sebelum janji berubah menjadi tindakan?
Berapa banyak helikopter lagi yang harus terbang sebelum bantuan betul-betul menyentuh seluruh titik bencana?
Diposko Wih Pesam, anak-anak bermain dengan sandal bekas dan botol kosong. Para ayah merokok dalam diam, menatap gunung yang longsor seakan mencari jawaban. Para ibu menghitung sisa pakaian kering yang mereka bawa.
Negara memang bergerak.
Tapi bencana lebih cepat.
Dan rakyat masih menunggu, bukan sekadar helikopter dilangit, tapi kepastian nyata ditanah tempat mereka berpijak.(Red)*






Discussion about this post