INformasinasional.com, Washington DC — Tirai niat Amerika Serikat terhadap Venezuela akhirnya tersingkap. Bukan sekadar perang melawan narkoba, bukan pula semata urusan minyak. Target sesungguhnya kini terang-benderang: Presiden Venezuela Nicolas Maduro harus disingkirkan.
Pengakuan paling telanjang datang dari lingkaran inti Gedung Putih sendiri. Dalam wawancara dengan majalah Vanity Fair yang menghebohkan Washington, Kepala Staf Presiden AS Donald Trump, Susie Wiles, menyatakan tanpa basa-basi, Trump akan terus menenggelamkan kapal-kapal sampai Maduro menyerah.
Kalimat itu bukan metafora kosong. Ia merujuk pada operasi maritim agresif Amerika Serikat dikawasan Karibia, operasi yang selama ini diklaim bertujuan memerangi penyelundupan narkoba, tetapi kini terbaca sebagai instrumen tekanan politik.
Dari Perang Narkoba ke Perang Kekuasaan
Sejak awal, Trump menjual operasi militer di Karibia sebagai upaya menutup jalur narkoba menuju AS. Fentanyl bahkan ia cap sebagai “senjata pemusnah massal”. Namun dibalik jargon keamanan, Washington juga memberlakukan blokade terhadap kapal tanker minyak Venezuela yang disanksi, langkah yang menghantam jantung ekonomi Caracas.
Selama berbulan-bulan, muncul spekulasi bahwa tekanan itu hanya alat tawar, memaksa Maduro membuka keran minyak dan logam tanah jarang bagi kepentingan AS. Tapi pernyataan Wiles mengubah segalanya. Ini bukan lagi soal kesepakatan. Ini soal menggulingkan rezim.
Paul Hare, mantan diplomat Inggris dan Direktur Sementara Pusat Studi Amerika Latin Universitas Boston, menilai perubahan arah itu signifikan.
“Awalnya ada niat membuat kesepakatan deportasi, mungkin konsesi minyak, semacam transaksi agar Maduro tetap berkuasa,” katanya. “Sekarang arahnya jelas berbeda.”
Target yang Lebih “Mudah”
Menjatuhkan Maduro memang bukan perkara sederhana. Namun bagi pemerintahan Trump kedua, Venezuela dinilai sasaran yang relatif “lebih mudah” dibandingkan Ukraina atau Gaza. Langkah ini sejalan dengan strategi keamanan nasional Trump yang menekankan dominasi AS di Belahan Bumi Barat.
Jesus Renzullo, analis Amerika Latin dari German Institute for Global and Area Studies, melihat dimensi lain: Kuba.
“Venezuela adalah kartu terakhir Kuba,” kata Renzullo. “Jika Caracas tumbang, Havana akan terpukul telak, militer dan ekonomi.”
Tekanan parsial, menurut Renzullo, tak akan cukup. Caracas sudah pernah menghadapi sanksi brutal pada era “tekanan maksimum” 2019 dan tetap bertahan. Artinya, jika AS serius, tekanannya harus jauh lebih keras.
Namun Hare menilai kasus Venezuela bersifat khusus. “Saya tidak melihat agresi luas AS ke Amerika Latin. Ini lebih karena Maduro dianggap tidak sah,” katanya.
Warisan Trump dan Politik Pemilih
Motif Washington ternyata tak berhenti pada geopolitik. Ada faktor warisan pribadi Trump. Pemerintahan ini secara terbuka mendukung oposisi Venezuela yang dipimpin Maria Corina Machado, peraih Nobel Perdamaian dan tokoh yang lantang menyerukan intervensi internasional.
Namun bagi Trump, demokrasi bukan agenda utama.
“Ini bukan soal minyak. Dan bukan pula soal demokrasi,” kata Jim Marckwardt, pensiunan Letnan Kolonel Angkatan Darat AS dan pengajar di Johns Hopkins SAIS. “Ini soal warisan politik.”
Upaya menjatuhkan Maduro pernah gagal pada 2019 lewat figur Juan Guaidó. Biden tak menuntaskannya. Kini Trump ingin menorehkan kemenangan yang tertunda. Selain itu, ada kalkulasi elektoral. Popularitas Trump dilaporkan menurun, termasuk di kalangan diaspora Amerika Latin, kelompok pemilih kunci di Florida. Menekan Venezuela adalah pesan politik yang mudah dijual.
“Ini cara cepat menyenangkan diaspora itu,” kata Marckwardt. “Dan Florida selalu penting.”
Venezuela di Persimpangan
Dengan kapal-kapal perang di Karibia, sanksi ekonomi yang mencekik, dan retorika Gedung Putih yang makin telanjang, Venezuela kini berada dipersimpangan berbahaya. Yang dipertaruhkan bukan hanya nasib Maduro, tetapi stabilitas kawasan Amerika Latin.
Satu hal pasti, Washington tak lagi bersembunyi. Ini bukan sekadar operasi keamanan. Ini adalah pertaruhan kekuasaan, dan Venezuela menjadi papan catur berikutnya.*
(Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rahka Susanto/detikcom)






Discussion about this post