Perempuan Dalam Keterwakilan Pemilu

Oleh : Sapnita S.Kep Ns M.KM
Perempuan merupakan sosok yang diciptakan Tuhan, memiliki suatu kemuliaan dibandingkan dengan laki-laki. Dalam salah satu hadis nabi disebutkan, bahwa yang paling utama dihormati adalah seorang ibu kemudian ayah.
Mencermati kata itu, sosok perempuan adalah sosok yang luar biasa, begitu pula di tanah air Indonesia, perempuan menjadi bagian salah satu yang terpenting, karena perempuan menjadi partner laki-laki maupun mitra laki-laki.
Salah satu bentuk perhatian terhadap perempuan adalah ketika pencalonan legislatif, Undang-Undang mewajibkan 30% keterwakilan perempuan.
Menyimak Undang Undang itu, perempuan bisa ikut berpartisipasi aktif dalam mengawasi Pemilu, terlebih didalam penyelenggara Pemilu maupun peserta kontestan Pemilu.
Semua itu bertujuan untuk pencegahan pencegahan maupun meminimalisir terjadinya pelanggaran dalam Pemilu.
Penggiat Pemilu saat ini tengah berupaya menyuarakan dan mengawal keterwakilan perempuan minimal 30% di KPU dan Bawaslu. Hal ini dilakukan agar penyelenggara Pemilu tidak didominasi oleh kelompok laki-laki saja, namun dapat mengakomodasi kepentingan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu maupun meningkatkan partisipasi politik perempuan.
*Affirmative action* atau memperhatikan keterwakilan minimal 30% perempuan di KPU dan Bawaslu merupakan amanat dari Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Affirmative action ini merupakan cara yang dipilih oleh negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif, adanya ketidaksetaraan dan marginalisasi disegala bidang kehidupan akibat struktur patriarki dilevel publik dan privat.
Untuk itu, affirmative action merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara dalam mewujudkan suatu jaminan keadilan bagi setiap orang dalam membangun kehidupan bersama, bukan hanya kelompok tertentu saja.
Keterwakilan perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi dan politik. Hal tersebut agar perempuan mampu mengakomodasi dan mengekspresikan kepentingannya secara massif bukan hanya dalam konteks menyuarakan saja. Namun juga, perempuan mampu memiliki akses kebijakan dengan menduduki suatu jabatan publik tertentu seperti penyelenggara pemilu pada Bawaslu dan KPU.
Kedua hal tersebut merupakan bentuk dari pemaknaan keterwakilan politik sebagaimana yang disebutkan oleh Anne Philips yang menyebutkan bahwa keterwakilan politik terdiri atas dua bentuk, diantaranya: politics of idea (politik ide) dan politics of presence (politik kehadiran).
[irp posts=”7940″ ]
Keterwakilan perempuan ini tidak boleh hanya dilihat sebagai bentuk politik ide saja, melainkan juga menuntut agar perempuan hadir dalam suatu jabatan tertentu agar perempuan tidak hanya diberikan kesempatan untuk menyuarakan, namun juga sebagai pelaku dalam mengambil dan memperjuangkan kebijakan dengan akses yang dimiliki dari jabatan tersebut.
Dalam hal ini, kehadiran perempuan dalam jabatan publik tersebut, bukan hendak mendorong suatu kebijakan yang hanya mementingkan perempuan saja, melainkan mendorong agar terjadinya dialektika antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan publik dalam melahirkan suatu kebijakan yang berkeadilan gender.
Kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pemilu, kepentingan perempuan sebagai pemilih harus diperhatikan secara matang. Karena pemilih perempuan lebih banyak dari pada pemilih laki-laki seperti pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, dimana jumlah pemilih perempuan lebih banyak sekitar 126 ribu dibandingkan pemilih laki-laki, dimana jumlah pemilih laki-laki di dalam negeri mencapai 92.802.671 sedangkan pemilih perempuan di dalam negeri mencapai 92.929.422.
Oleh karena itu, mendudukan perempuan dalam penyelenggara Pemilu merupakan suatu urgensi yang harus diwujudkan.
Disamping mempertimbangkan jumlah pemilih perempuan yang banyak dari pada pemilih laki-laki, setidaknya terdapat beberapa alasan urgensi keterwakilan perempuan di dalam penyelenggara pemilu. Diantaranya, menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan perempuan di dalam pelaksanaan pemilu.
Dan mewujudkan affirmative action yang didorong oleh negara dem keadilan sosial, khususnya bagi kelompok perempuan.
Begitu juga dengan menjabat sebagai penyelenggara Pemilu, perempuan berpotensi merangkul kelompok-kelompok marginal, karena secara pengalaman kelompok perempuan memiliki kedekatan dengan kelompok tersebut.**