INformasinasional.com, Medan – Suara lantang orator dan dentuman drum aksi menggema membelah panas terik di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Kamis (17/7/2025). Ratusan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Aktivis Kota (AKTA) mendatangi gedung penegak hukum tersebut dengan satu misi: mendesak pemberantasan mafia tanah yang dituding telah merampas lahan negara di Tanjung Garbus, Deli Serdang.
Spanduk-spanduk besar berwarna mencolok membentang di antara barisan massa. Tulisan-tulisan tegas seperti “Negara Jangan Kalah dengan Mafia Tanah!”, “Tangkap Oknum DPRD DG!”, hingga “Kejatisu Jangan Tutup Mata!” menjadi penegas tuntutan mereka. Sementara itu, yel-yel penuh semangat terus menggema, memanaskan suasana di depan kantor kejaksaan yang dijaga ketat aparat keamanan.
Koordinator AKTA, Ari Gusti Syahputra, berdiri di atas mobil komando, suaranya bergetar—bukan karena lelah, tetapi karena amarah yang tak terbendung. Ia menuding bahwa lahan seluas 464 hektare di Kebun Tanjung Garbus adalah aset negara, milik PTPN II, yang kini justru dikuasai oleh mafia tanah dengan dukungan sejumlah oknum pejabat.
“Tanah ini milik negara, milik PTPN II! Tapi hari ini dikuasai oleh mafia yang dengan pongahnya menanam semangka dan berbagai komoditas lain. Bahkan diduga kuat, ada keterlibatan oknum anggota DPRD Deli Serdang berinisial ‘DG’. Ini penghinaan bagi bangsa! Ini ujian bagi Kejatisu. Apakah kalian berani melawan mafia atau justru tunduk di bawah kaki mereka?!” tegas Ari, disambut teriakan massa:
“Tangkap! Tangkap! Tangkap mafia tanah!”
Ari kemudian mengingatkan publik soal pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD pada Juli 2023, yang kala itu secara terbuka mengungkap praktik penyerobotan lahan negara oleh mafia tanah di berbagai daerah. Mahfud menyebut, kerugian negara akibat praktik kejahatan itu mencapai Rp1,7 triliun. Namun, hingga kini, Ari menilai aparat penegak hukum seperti “lumpuh” menghadapi para pelaku.
“Kami malu sebagai rakyat melihat negara kita kalah melawan mafia tanah. Di mana keberanian aparat penegak hukum? Di mana keberanian Kejati? Jangan biarkan marwah Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal tegas terhadap perusak negara, dicederai hanya karena kalian takut dengan mafia!” lanjut Ari, yang disambut pekik kemarahan massa.
Data yang diungkap AKTA menyebutkan bahwa lahan seluas 464 hektare itu hingga kini masih tercatat sebagai aset PTPN II berdasarkan dokumen resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tidak ada catatan tentang pelepasan hak atau peralihan kepemilikan kepada pihak mana pun. Namun, di lapangan, lahan tersebut telah dikelola secara ilegal, dengan aktivitas pertanian skala besar yang diduga dilakukan oleh “DG” bersama jaringan mafia tanah lainnya.
“Ini jelas bukan rakyat kecil yang sekadar ingin bertani. Ini operasi besar yang diduga melibatkan pejabat legislatif dan pengusaha. Kalau Kejatisu tidak berani mengusut, berarti kalian sudah kalah sebelum perang,” kata Ari.
Selama hampir dua jam, massa secara bergantian menyampaikan orasi. Mereka mendesak Kejatisu untuk:
- Segera memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam perampasan lahan negara, termasuk oknum pejabat daerah.
- Mengusut dugaan keterlibatan jaringan mafia tanah di Deli Serdang hingga ke akar-akarnya.
- Menjamin aset PTPN II kembali sepenuhnya ke tangan negara dan rakyat.
Massa juga mengancam akan kembali dengan jumlah yang lebih besar jika tuntutan mereka diabaikan.
“Kalau sampai satu bulan tidak ada tindakan tegas, kami akan datang lagi. Bukan hanya ratusan, tapi ribuan orang yang akan kepung kantor ini!” seru seorang orator lainnya dari AKTA.
Pukul 14.00 WIB, perwakilan AKTA menyerahkan dokumen tuntutan resmi kepada pihak Kejatisu. Aksi pun ditutup dengan tertib, diiringi yel-yel perlawanan:
“Negara jangan kalah! Berantas mafia tanah sekarang juga!”
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejati Sumut belum memberikan pernyataan resmi terkait aksi unjuk rasa tersebut maupun tuntutan yang dilayangkan oleh AKTA. Wartawan INformasinasional.com masih berupaya mengonfirmasi ke Kepala Kejatisu mengenai langkah konkret penanganan kasus ini.
Masyarakat kini menunggu, apakah Kejatisu akan menunjukkan keberanian sebagai garda terdepan penegakan hukum, atau justru ikut menjadi bagian dari “keterbungkaman” di hadapan para perampok tanah rakyat.(Bobby OZ)