INformasinasional.com, MEDAN – Sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan itu nyaris hening ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nurul Walida membacakan tuntutannya. Di kursi terdakwa, Saiful Abdi, mantan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Langkat, menundukkan kepala. Wajahnya terlihat tegang, sesekali menarik napas panjang, seolah ingin menelan pahit kenyataan.
Nurul menyebut tuntutannya tegas, 18 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan untuk Saiful. Empat terdakwa lain yang juga pejabat dilingkungan Pemkab Langkat, yakni Eka Syahputra Depari (eks Kepala BKD), Rohayu Ningsih dan Awaluddin (keduanya kepala sekolah), serta Alex Sander (Kasi Kesiswaan SD Disdik Langkat), mendapat hukuman identik.
“Para terdakwa telah mencederai kepercayaan publik dengan memperdagangkan jabatan PPPK. Praktik ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga penghianatan terhadap moral ASN,” kata Nurul, JPU dalam tuntutannya, Kamis.
Beli Jabatan Bertafif Rp35–70 Juta untuk Lolos PPPK
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan bak membuka borok lama birokrasi Langkat. Dari keterangan saksi hingga bukti transfer rekening, skema kotor itu tergambar jelas.
Tarif kelulusan PPPK dipatok antara Rp35 juta hingga Rp70 juta per orang.
Saiful Abdi memerintahkan Alex Sander untuk mencari peserta seleksi yang bersedia membayar.
Uang tersebut lalu dibagi ke beberapa pihak, termasuk Saiful dan Eka Depari, dan juga ke mantan PLT Bupati Langkat kala itu.
Modusnya lebih rapi dari dugaan publik. Sistem seleksi Computer Assisted Test (CAT) yang ketat dan transparan diakali menjadi Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Dengan sistem tambahan itu, nilai peserta bisa dimanipulasi karena bersifat subjektif.
“Dengan SKTT, siapa pun yang bayar bisa diluluskan. Sementara peserta yang berjuang dengan nilai tinggi CAT justru disingkirkan,” beber jaksa dihadapan majelis hakim.
Jejak Lobi ke Plt Bupati dan Pemerintah Pusat
Lebih mengejutkan lagi, jaksa membeberkan adanya pertemuan antara Saiful Abdi dengan Plt Bupati Langkat Syah Afandin. Dalam pertemuan itu, Saiful mengusulkan agar sistem SKTT diterapkan sebagai dasar penilaian tambahan. Tak hanya berhenti di Langkat, para terdakwa bahkan melobi pemerintah pusat supaya sistem yang sudah “dimodifikasi” itu bisa disahkan.
Salah satu sumber internal Pemkab Langkat yang enggan disebutkan namanya mengaku, praktik seperti ini sudah lama jadi rahasia umum. “Kalau mau lolos PPPK atau CPNS, harus ada ‘biaya administrasi tambahan’. Di bawah meja, jumlahnya bervariasi tergantung posisi yang diincar,” ujarnya.
Korban Berjatuhan, Publik Marah
Skandal ini menyisakan luka bagi ratusan peserta seleksi PPPK yang berjuang jujur tanpa “uang pelicin”. Beberapa di antaranya bahkan harus rela tersingkir meski nilai CAT mereka lebih tinggi.
“Anak saya sudah belajar mati-matian, nilai CAT tinggi, tapi tidak lolos. Sekarang saya tahu kenapa,” kata Sari, seorang ibu peserta yang kecewa berat, saat ditemui usai sidang.
Gelombang kemarahan masyarakat pun merebak. LSM hingga tokoh masyarakat mendesak agar praktik jual beli jabatan diberantas tuntas, bukan hanya sampai Saiful Abdi dan kawan-kawan.
Sidang akan berlanjut Kamis (10/7/2025) mendatang dengan agenda pembacaan pledoi dari para terdakwa. Vonis hakim menjadi momen krusial, bukan hanya bagi Saiful dan koleganya, tetapi juga sebagai cermin keberanian penegak hukum memberi efek jera.
Apakah Saiful dan jaringan “jual beli jabatan” ini akan mendapat hukuman setimpal? Atau kasus ini akan berakhir dengan vonis ringan seperti banyak praktik serupa di negeri ini?
FAKTA EKSKLUSIF
Jaksa menyebut ada puluhan peserta PPPK yang terindikasi membayar suap.
Nilai uang yang beredar diperkirakan mencapai miliaran rupiah jika diakumulasi.
Sistem SKTT dinilai menjadi “celah” paling rawan manipulasi dalam rekrutmen ASN.
(Red/Misno Adi)