INformasinasional.com, JAKARTA — Pemerintahan Aceh Selatan mendadak berguncang. Bukan karena banjir bandang yang menghantam wilayah itu berhari-hari, tapi karena sosok yang seharusnya berdiri paling depan, Bupati Mirwan MS justru menghilang ke Tanah Suci. Ditengah warga yang terjebak arus dan rumah yang disapu lumpur, Mirwan memilih terbang menunaikan umroh tanpa izin negara.
Sikap itu tak hanya menimbulkan amarah publik, tetapi juga membuat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian turun tangan. Hasilnya tegas, cepat, dan mematikan karier. Mirwan diberhentikan sementara selama tiga bulan.
Dipodium Kantor Kemendagri, Tito berbicara tanpa basa-basi. “Yang bersangkutan keluar negeri tanpa izin menteri. Itu pelanggaran serius. Karena itu, dijatuhi sanksi pemberhentian sementara tiga bulan,” tegas Tito.
Diksi “pelanggaran serius” dari Mendagri adalah sinyal keras bahwa pemerintah pusat tak lagi menoleransi pejabat daerah yang “menghilang” justru saat rakyat butuh tangan pemimpinnya.
Untuk mencegah kekosongan komando, Wakil Bupati Baital Mukadis ditunjuk menjadi Plt Bupati Aceh Selatan, sebuah tugas berat di tengah reruntuhan bencana.“Plt Bupati bertugas selama masa pemberhentian saudara Mirwan,” ujar Tito.
Umroh yang Mengubah Peta Politik
Keputusan Mirwan berangkat umroh ketika banjir menggulung Aceh Selatan menjadi titik balik yang memalukan. Sejumlah sumber menyebut Mirwan sempat “mengabaikan” peringatan stafnya sebelum berangkat. Ia tetap pergi, seolah badai tak akan terjadi.
Padahal, saat pesawatnya tinggal landas, ribuan warganya justru sedang mencari tempat aman. Rumah hanyut, jalan terputus, listrik padam. Aceh Selatan dalam keadaan darurat.
Ketiadaan Mirwan dilapangan membuat koordinasi penanggulangan bencana kacau. Banyak relawan mengaku tak tahu siapa yang memimpin. Warga menyebut situasi itu sebagai “pemerintahan autopilot ditengah bencana.”
Dimedia sosial, amarah tak terbendung. Tagar #BupatiKabur dan #CariMirwan sempat menguasai lini masa Aceh. Kritik deras tak hanya datang dari warga, tetapi juga aktivis dan tokoh adat.
Belum reda dihantam keputusan Mendagri, badai politik lain menyambar. Partai Gerindra Aceh Selatan bergerak cepat, Mirwan dilengserkan dari jabatan Ketua DPD.
Pecat tanpa diskusi panjang.
“Langkah ini tak bisa ditunda,” kata seorang petinggi partai. “Partai tak bisa menanggung beban moral dari keputusan pribadi seorang pejabat yang meninggalkan rakyatnya dalam bencana.”
Pemecatan itu bukan hanya hukuman politik, tapi juga tamparan keras bagi Mirwan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, dia kehilangan dua hal sekaligus, jabatan pemerintahan dan jabatan partai.
Kini, masa depan Mirwan berada di persimpangan paling gelap. Sanksi tiga bulan bisa menjadi awal evaluasi menyeluruh, bahkan bukan tidak mungkin, pintu menuju pemberhentian permanen, jika rakyat Aceh Selatan mengusulkan ke DPRK Aceh Selatan untuk ‘memakjulkan’ Mirwan dari Bupati.
Karena, yang berhak memberhentikan Bupati adalah Rakyat, karena Bupati dipilih rakyat lewat Pemilu, sehingga pemakjulannoleh wakil rakyat lebih berkuasa di DPRK Aceh Selatan.
Sementara itu, tugas berat menanti Plt Bupati Baital Mukadis, memulihkan Aceh Selatan yang diterjang banjir dan memulihkan kepercayaan publik yang ikut hanyut.
Bencana alam biasanya menyisakan puing. Namun di Aceh Selatan, bencana ini menyisakan sesuatu yang lebih dalam krisis kepemimpinan yang berujung pada tumbangnya sang bupati.(Misno)






Discussion about this post