INformasinasional.com, Beijing – Perdana Menteri China, Li Qiang mengumumkan, pembangunan bendungan PLTA terbesar di dunia telah dimulai di sungai Yarlung Tsangpo, yang terletak di tepi timur dataran tinggi Tibet.
Pengumuman tersebut disampaikan PM China pada upacara peletakan batu pertama pembangunan bendungan hidropower itu di kota Nyingchi pada hari Sabtu(19/7/2025), mengutip laporan media China.
Namun, rencana pembangunan bendungan terbesar sedunia ini, yang sudah diumumkan sejak tahun 2020 silam, telah memicu kekhawatiran dari India, Bangladesh, serta beberapa LSM.
Mengapa China membangun bendungan di Sungai Yarlung?
Sungai Yarlung Tsangpo, yang memiliki panjang 2.900 kilometer, berhulu di pegunungan Himalaya berkelok-kelok melintasi ngarai terdalam di dunia. Pada satu bagian, elevasi sungai ini turun drastis sedalam 2.000 meter, dengan jarak horisontal penurunan mencapai 50 kilometer, memberikan potensi besar untuk pembangunan PLTA.
China menyebutkan, ekspansi energi terbarukan, pengurangan emisi karbon, serta tujuan pengembangan ekonomi di wilayah Tibet menjadi alasan di balik proyek yang diperkirakan bernilai sekitar USD 170 miliar (Rp 2,7 kuadriliun) ini.
“Listrik yang dihasilkan, sebagian besar akan disalurkan ke wilayah-wilayah lain, selain memenuhi kebutuhan listrik lokal di Tibet,” demikian dilaporkan media pemerintah.
Bendungan ini akan menggerakkan lima pembangkit listrik tenaga air bertingkat, dengan kapasitas pembangkitan listrik mencapai 300 miliar kilowatt per jam (kWh) per tahunnya – setara dengan volume energi listrik yang dikonsumsi oleh seluruh Inggris tahun lalu.
India dan Bangladesh menyampaikan kekhawatirannya
Sungai Yarlung Tsangpo mengalir ke selatan, dan disebut Sungai Brahmaputra di India dan Bangladesh. Jutaan orang bergantung pada sungai ini sebagai sumber air dan untuk pertanian.
Kedua negara di Asia Selatan itu khawatir dampak pendirian bendungan tersebut, terhadap jutaan orang yang tinggal di hilir. LSM-LSM juga turut memperingatkan risiko kerusakan permanen, pada dataran tinggi yang secara ekologis sangat sensitif.
Kementerian Luar Negeri India menyampaikan kekhawatirannya kepada China pada bulan Januari lalu, dan menyatakan India akan “memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan negaranya.”
Kemenlu India telah mendesak China, “untuk memastikan bahwa kepentingan negara-negara dibagian hilir Brahmaputra tidak dirugikan oleh kegiatan di hulu.”
Sebuah laporan tahun 2020 dari Lowry Institute, think tank di Australia menyebutkan, “kontrol atas sungai ini memberikan China kendali yang kuat atas perekonomian India.”
Apa respons China?
Pihak berwenang China belum menginformasikan, berapa banyak orang yang akan dipindahkan akibat pembangunan proyek Yarlung.
Pada bulan Desember, Kementerian Luar Negeri China menyatakan, proyek tersebut tidak akan memiliki “dampak negatif” di hilir, dan menambahkan bahwa Beijing “juga akan menjaga komunikasi dengan negara-negara di hilir” sungai.
Ini bukan pertama kalinya isu geopolitik tersulut akibat sungai yang melintasi perbatasan internasional.
Bendungan Yarlung Tsangpo diperkirakan akan mulai beroperasi sekitar tahun 2030.(dtc)