INformasinasional.com, BANDA ACEH – Senin siang, 1 September 2025, halaman Gedung DPR Aceh (DPRA) berubah menjadi panggung sejarah. Ratusan massa dari berbagai elemen duduk bersila didepan tiang bendera, suara mereka bergantian menggema menembus dinding kekuasaan. Dari mahasiswa, aktivis, hingga warga biasa, semua menyatukan suara reformasi parlemen, reformasi kepolisian, hingga hentikan militerisasi di Tanah Rencong.
Awalnya, massa berorasi dijalan. Namun dalam satu jam, gerbang terbuka. Mereka diperbolehkan masuk hingga kehalaman utama. Tak ada kericuhan, tak ada gesekan. Justru yang terjadi adalah pemandangan yang jarang terlihat. Rakyat dan wakilnya berhadapan langsung, tanpa sekat, tanpa barikade kawat berduri.
Ketua DPRA Zulfadli bersama sejumlah anggota legislatif turun menemui massa. Kapolda Aceh, Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah, ikut hadir, berdiri dibarisan elite yang menyambut lautan demonstran. Namun dibalik wajah ramah itu, massa tak ingin sekadar disalami. Mereka datang dengan agenda menuntut perubahan mendasar.
Koordinator Lapangan, Misbah, lantang membacakan tuntutan. Suaranya menohok, penuh desakan. “Kami menuntut reformasi total DPR RI dan DPR Aceh. Hapus budaya korup, perbaiki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tolak wakil rakyat yang anti demokrasi dan pro oligarki!”
Sorakan menggema. Massa kemudian mengajukan petisi reformasi. Tak ada pilihan bagi Zulfadli kecuali membacakan satu per satu poin tuntutan dihadapan publik, sebelum akhirnya menandatangani. Tanda tangan itu, meski simbolik, menjadi bukti bahwa tekanan jalanan kembali mampu menundukkan elite parlemen.
Selain parlemen, sorotan juga diarahkan pada Polri. Massa mendesak penghentian segala bentuk kekerasan terhadap rakyat, penegakan hukum yang adil, dan pencopotan aparat yang terbukti melanggar HAM. “Tak ada reformasi tanpa keberanian membersihkan aparat yang mencederai demokrasi,” tegas Misbah.
Tuntutan ini bukan isapan jempol. Rekam jejak represi aparat diberbagai daerah masih membekas, dari penggusuran paksa, bentrok dengan mahasiswa, hingga penanganan demonstrasi yang selalu diwarnai kekerasan. Aceh, dengan sejarah luka panjang akibat konflik bersenjata, menegaskan kembali penolakannya pada segala bentuk militerisasi.
Tuntutan paling sensitif muncul ketika massa menolak rencana pembangunan batalyon baru di Aceh. Bagi mereka, kehadiran pasukan teritorial bukan jawaban atas persoalan daerah. Sebaliknya, itu justru menghidupkan trauma masa lalu.
“Aceh punya luka yang belum sembuh. Jangan tambah garam diatasnya. Stop militerisasi. Hormati semangat perdamaian MoU Helsinki dan tegakkan supremasi sipil,” ujar Misbah, disambut riuh tepuk tangan massa.
Penolakan ini mengingatkan publik pada sejarah kelam konflik Aceh dua dekade perang gerilya yang menelan puluhan ribu korban jiwa. Meski MoU Helsinki 2005 menutup bab perang, upaya militerisasi baru dianggap ancaman nyata terhadap perdamaian yang rapuh.
Gelombang Nasional, Aceh Jadi Episentrum
Apa yang terjadi di Banda Aceh bukan sekadar protes lokal. Ia adalah bagian dari gelombang ketidakpuasan nasional terhadap institusi demokrasi dan aparat negara. Dari Jakarta, Medan, hingga Makassar, suara reformasi kembali menggema.
Aceh, dengan status daerah istimewa hasil perjanjian damai, justru tampil sebagai episentrum. Tuntutan mereka lebih tajam. Bukan hanya soal fungsi legislasi yang mandek dan korupsi diparlemen, tapi juga soal penghentian pola militeristik yang selalu menjadi hantu masa lalu.
Sejarah reformasi 1998 membuktikan, jalanan mampu mengguncang singgasana kekuasaan. Dua dekade berselang, 2025 menunjukkan babak serupa. Meski massa di Banda Aceh tak membakar ban atau merusak fasilitas publik, simbolisme aksi mereka justru lebih menusuk, duduk tenang, orasi bergantian, dan memaksa parlemen menandatangani tuntutan.
Dibawah terik matahari, dihalaman parlemen, rakyat Aceh mengingatkan bahwa demokrasi bukan hadiah, melainkan hasil desakan tanpa henti. Dan sekali lagi, jalanan menunjukkan taringnya.(Misn’t)