♦INformasinasional.com, Nias Utara —
Suara sendok beradu dengan piring diruang makan sekolah itu kini menghantui benak Saktizaman Gea. Jumat pekan lalu, putranya, Rezeki Gea, siswa SMA Negeri 1 Tuhemberua, Nias Utara, menikmati santapan Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan pihak sekolah, program pemerintah yang digadang-gadang untuk melawan stunting dan meningkatkan gizi pelajar. Namun beberapa jam setelahnya, tubuh Rezeki tumbang.
Muntah, mencret, lemas tak berdaya. Diagnosis dokter di Puskesmas Tuhemberua diare berat. Program yang mestinya membawa kesehatan, justru menebar penyakit.
“Anak saya sebelumnya sehat. Tapi begitu makan MBG itu, langsung diare. Saya trauma, karena sudah dua kali kejadian seperti ini disekolah,” kata Saktizaman, Rabu (15/10/2025), dirumahnya di Jalan Laraga Botogawu, Desa Banua Gea.
Matanya sayu menatap anaknya yang masih berbaring lemah ditikar. Sejak keluar dari puskesmas beberapa hari lalu, Rezeki belum sanggup kembali ke sekolah. “Masih pusing dan perutnya sakit,” ujar sang ayah lirih.
Saktizaman menolak menyalahkan program pemerintah. Ia hanya menuntut pengawasan yang ketat terhadap dapur MBG, khususnya milik Yayasan Sahabat Erya Sejati, selaku pengelola makanan disekolah anaknya.
“Saya minta Badan Gizi Nasional (BGN) segera turun memeriksa dapur itu. Harus ada uji higienis, hasil lab, dan sertifikat kelayakan. Jangan asal masak untuk anak-anak,” pintanya.
Pihak keluarga menduga kuat makanan MBG menjadi pemicu utama sakitnya Rezeki.
“Anak saya tak makan apa pun selain MBG itu. Jadi dari mana lagi penyakitnya kalau bukan dari situ?” kata Saktizaman.
Namun, tudingan itu dibantah halus oleh perwakilan Yayasan Sahabat Erya Sejati. Erya Harefa, pengurus yayasan, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, menyebut dapur mereka telah memenuhi standar kebersihan.
“Kami selalu menjaga higienitas dapur dan bahan makanan. Semua dimasak oleh tenaga yang dilatih, menggunakan bahan segar. Kami juga melibatkan petugas kesehatan saat pengecekan,” tulis Erya.
Ia menambahkan, pihak yayasan siap bekerjasama dengan BGN dan Dinas Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan ulang.
“Kalau memang ada kelalaian, kami siap dievaluasi. Tapi sejauh ini belum ada bukti bahwa makanan kami menyebabkan diare,” ujarnya.
Saktizaman mengaku kecewa saat dua orang perempuan yang mengaku dari dapur MBG Kecamatan Sawo datang kerumahnya bersama seorang Babinsa. Alih-alih membawa simpati, mereka datang dengan permintaan aneh: hapus unggahan di Facebook yang menyinggung dapur MBG.
“Saya kira mereka datang menjenguk anak saya, ternyata minta saya hapus postingan. Tidak bawa apa-apa, bahkan sekadar air minum pun tidak,” katanya getir.
Baginya, sikap itu bukti bahwa pihak pengelola lebih sibuk menjaga nama baik ketimbang menjaga mutu makanan anak-anak.
Setelah kasus ini mencuat, beberapa pihak menyebut keluarga Gea terlalu membesar-besarkan masalah. Tuduhan itu dibalas keras oleh Saktizaman.
“Kalau cuma satu anak yang kena, katanya tidak apa-apa. Emangnya harus tunggu banyak korban dulu baru dianggap serius?” ujarnya menohok.
Ia menambahkan, keluarga hanya ingin keadilan dan jaminan keamanan makanan bagi siswa lain. “Kami tidak mau anak-anak lain jadi korban berikutnya,” katanya.
Menanggapi laporan itu, Kepala Sub Bidang Pengawasan Mutu Gizi BGN, Dr. Nurhayati Sitohang, saat dihubungi terpisah, menyatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti permintaan pemeriksaan tersebut.
“Kami sudah menerima informasi awal. Tim akan turun ke Nias Utara untuk melakukan uji kelayakan higienis dapur MBG Yayasan Sahabat Erya Sejati,” kata Nurhayati.
Ia menegaskan, BGN memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap seluruh penyedia makanan MBG di Indonesia.
“Tujuannya jelas, memastikan program ini benar-benar bergizi, bukan malah membahayakan. Kami tidak akan kompromi pada pelanggaran standar kebersihan,” ujarnya.
Program MBG sejatinya lahir dari niat baik pemerintah untuk menekan angka stunting dan kemiskinan gizi. Namun dilapangan, implementasi sering kali tidak seindah konsepnya. Minim pengawasan, dapur seadanya, dan bahan mentah yang tak terjamin membuat banyak pihak mulai mempertanyakan efektivitasnya.
Kasus Rezeki Gea menjadi cermin: program bergizi bisa berubah menjadi program berisiko jika dikelola asal-asalan.
“Kami hanya ingin makanan yang aman, bukan asal kenyang. Kalau program bagus tapi tidak diawasi, itu sama saja bahaya yang disubsidi negara,” kata Saktizaman.
Dirumah sederhana itu, suara batuk kecil Rezeki terdengar lirih. Diluar, hujan turun pelan membasahi Nias Utara. Tapi badai sesungguhnya justru mulai berembus dari hati para orangtua yang mulai kehilangan kepercayaan pada program gizi yang semestinya melindungi anak-anak mereka.
“Gizi seharusnya menyembuhkan, bukan mencelakai,” ujar Saktizaman, menutup percakapan dengan nada getir.
(Laporan: Shokinaaro Telaumbanua)
Discussion about this post