INformasinasional.com, DOLOKSANGGUL – Duka mendalam menyelimuti tanah Humbang Hasundutan. Zetro Leonardo Purba (40), putra daerah yang selama ini mengabdi untuk republik dijalur diplomasi, pulang dalam keadaan tragis. Staf KBRI Lima, Peru, dengan jabatan Penata Kanselerai Muda itu tewas ditembak orang tak dikenal pada Senin malam, 1 September 2025, waktu setempat.
Kabar itu jatuh seperti petir disiang bolong. Zetro bukan sekadar staf biasa. Ia wajah Indonesia di negeri jauh, diplomat yang bekerja sunyi dibalik meja, namun mengemban nama besar republik. Kini, kepulangannya bukan dengan tanda jasa, melainkan peti mati.
Bupati Humbahas, Oloan Paniaran Nababan, langsung menggerakkan mesin birokrasi. Dari Doloksanggul ia berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mempercepat pemulangan jenazah. “Informasi dari Kemenlu, jenazah masih berada di Peru karena pihak kepolisian setempat masih melakukan penyidikan. Begitu rampung, jenazah segera dikirimkan ke tanah air,” ujar Oloan melalui fanpage resmi Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan.
Keluarga korban, Anton Anggiat Purba selaku ayah Zetro, telah menyampaikan langsung permohonan agar Bupati ikut mengawal pemulangan jenazah. Anton bersama pendamping sudah bertolak ke Jakarta untuk menemui pihak Kemenlu. “Kami turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya. Zetro adalah salah satu putra terbaik Humbahas. Kami akan berupaya agar pemulangan jenazah berlangsung cepat dan lancar,” tegas Oloan.
Namun, dibalik empati dan protokol, tersisa tanya besar, bagaimana mungkin seorang diplomat bisa meregang nyawa akibat tembakan di negeri sahabat? Bukankah Konvensi Wina mewajibkan negara tuan rumah memberi perlindungan penuh kepada staf diplomatik? Apakah tragedi ini murni kriminal, atau ada benang kusut politik yang menjerat?
Kematian Zetro menyadarkan publik bahwa diplomasi bukan sekadar jamuan kenegaraan atau pertemuan resmi. Ada risiko yang tak kasat mata, ada taruhan nyawa yang sewaktu-waktu bisa tercabut. Kali ini, Humbahas kehilangan putra terbaiknya, sementara Indonesia kehilangan wajah diplomasi yang masih muda.
Indonesia tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus menuntut transparansi penuh dari otoritas Peru. Investigasi harus digelar terbuka, pelaku segera ditangkap, dan motif diungkap ke publik. Ini bukan semata urusan keluarga Purba, melainkan martabat bangsa.
Zetro Leonardo Purba kini dipulangkan bukan sebagai pejabat diplomatik aktif, melainkan sebagai pahlawan yang gugur digaris depan diplomasi. Ia pulang ketanah leluhur Humbang Hasundutan dengan kepala tegak, sekalipun jasadnya terbujur kaku.
Dan kini, semua mata tertuju ke pemerintah: apakah negara akan benar-benar hadir melindungi putra-putri terbaiknya di mancanegara, atau tragedi ini akan dibiarkan jadi sekadar catatan pilu dalam lembar sejarah diplomasi Indonesia?
(Laporan: Karmawan/Glen Silaban)