INformasinasional.com-JAKARTA. Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap rupiah. Mengutip data RTI, Senin (23/10) per pukul 19.00 WIB, mata uang Paman Sam nyaris menyentuh Rp 16.000, berada di level Rp 15.949.
Penguatan dolar AS mengundang komentar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, khususnya terkait dampak terhadap industri besi dan baja tanah air. Agus menyebut meski kondisi ini menguntungkan eksportir, penguatan dolar AS juga bakal mempengaruhi biaya pengeluaran untuk impor bahan baku baja.
“Dengan adanya situasi di mana dolar menguat, di satu sisi menguntungkan bagi eksportir kita pasti. Tapi di sisi lain membawa dampak, di mana dolar yang menguat berpengaruh terhadap impor bahan baku yang dibutuhkan oleh industri ini sendiri,” ujarnya dalam pengukuhan pengurus Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia di Kantor Kemenperin, Jakarta Selatan, dikutip Selasa (23/10/2023).
Dengan harga impor tinggi akibat dolar menguat, maka bisa saja mempengaruhi adanya daya saing, competitiveness bagi produk-produk yang dihasilkan di Indonesia,” lanjutnya.
[irp posts=”13923″ ]
Sementara itu, Purwono Widodo yang baru dikukuhkan sebagai ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) menyebut bahan baku baja masih diimpor. Bahan baku baja diimpor dan dibeli menggunakan dolar AS, sementara produk jadi dijual dalam rupiah.
Di situ ada selisih kurs mata uang dan bakal berpengaruh terhadap industri ini dalam jangka waktu pendek. Namun, Purwono percaya industri dapat menyesuaikan diri dalam jangka waktu panjang.
“Kita impor dalam dolar. Nah saat kita jual ke pasar, dalam rupiah. Nah selisih itulah. Biasanya di jangka pendeknya itu akan mengganggu tapi jangka panjangnya biasanya bisa menyesuaikan. Jadi harga jual dari dolar ke rupiah disesuaikan dengan kurs baru, jadi gangguannya itu sementara,” bebernya.
Pada kesempatan itu, Agus menilai industri baja memiliki peran penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Menurut Agus sektor ini berkontribusi dalam pembangunan seperti transportasi, otomotif, konstruksi, hingga energi.
“Industri baja memiliki peran vital dalam menyokong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan beberapa industri penting lainnya, seperti energi, konstruksi, otomotif dan transportasi. Selain itu, industri baja juga merupakan salah satu sektor yang berperan penting pada perwujudan 4 pilar utama bagi pembangunan Indonesia Maju melalui visi Indonesia Emas 2045,” ujar Agus.
Produsen besi baja di Indonesia juga terus berupaya memaksimalkan produksinya untuk bisa memenuhi peningkatan konsumsi baja nasional. Diperkirakan jumlahnya akan meningkat sekitar 100 juta ton dengan nilai investasi US$ 100 miliar dan menyerap 2,5-3 juta lapangan kerja baru.
Agus berharap agar IISIA sebagai perwakilan industri besi dan baja dapat mendukung berbagai upaya pemenuhan kebutuhan domestik baja, meningkatkan kualitas produk baja, dan mengambil inisiatif dalam pengembangan energi terbarukan. Ia berharap sektor industri baja bisa menjadi contoh dalam merangkul prinsip-prinsip keberlanjutan dan berperan aktif meminimalkan dampak lingkungan.
Hal ini juga terkait dengan rencana aksi dekarbonisasi di sektor industri. Sebelumnya, Agus telah menyampaikan bahwa sektor industri ditargetkan mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target nasional. Industri baja menjadi salah satu sektor yang cukup diperhatikan dalam rencana aksi ini, dan isu mengenai energi terbarukan yang ramah lingkungan menjadi tantangan bagi industri baja.
“Kita tahu bahwa IISIA memiliki visi yang sangat jauh ke depan, yaitu mengembangkan industri baja yang berdaya saing dan ramah lingkungan. Mudah-mudahan Pengurus IISIA dapat menjalankan dengan baik program kerja yang sudah dibuat dan berkolaborasi dengan Kemenperin dalam memajukan Industri Baja Nasional dan mewujudkan visi tersebut,” pungkasnya.
(Artikel asli: detik.com)