INformasinasional.com, JAKARTA — Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan pentingnya pendekatan berbasis bukti dalam menelisik tragedi nasional Mei 1998, khususnya mengenai isu kontroversial “perkosaan massal” terhadap perempuan etnis Tionghoa. Ia menyatakan bahwa sejarah tak boleh dibentuk oleh opini atau tekanan emosional semata, melainkan harus bersandar pada fakta hukum yang diverifikasi secara akademik dan legal.
“Berbagai kekerasan memang terjadi dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Tapi penggunaan istilah ‘perkosaan massal’ harus sangat hati-hati karena hingga kini data dan bukti-buktinya belum pernah bersifat konklusif,” ujar Fadli dalam pernyataan resminya, Senin (16/6).
[irp posts=”41386″ ]
Fadli merespons meningkatnya perhatian publik terhadap peristiwa Reformasi 1998, sekaligus menjawab kontroversi soal minimnya referensi perempuan dalam narasi sejarah nasional. Ia menekankan bahwa tidak ada upaya penghilangan narasi perempuan, justru peran dan kontribusi perempuan menjadi salah satu fokus utama dalam penyusunan buku Sejarah Indonesia versi terbaru.
Kritik Tajam terhadap Validitas Data
Dalam keterangannya, Fadli mengungkap bahwa baik laporan investigatif media maupun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada masa itu tidak berhasil menyajikan data yang kuat, seperti identitas korban, tempat kejadian, waktu, maupun pelaku. “Kita harus jujur, laporan tersebut menyebut angka tapi tanpa data pendukung yang dapat diuji secara akademik. Di sinilah kehati-hatian sangat penting,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kesalahan dalam penggunaan istilah seperti “perkosaan massal” berpotensi mencoreng martabat bangsa di mata dunia jika tidak ditopang bukti yang memadai. “Saya menolak segala bentuk kekerasan seksual, baik masa lalu maupun sekarang. Namun saya juga tidak ingin bangsa ini menanggung stigma karena informasi yang belum diverifikasi,” katanya.
Menanggapi tudingan bahwa penyusunan buku sejarah menghilangkan narasi perempuan, Fadli membantah keras. Ia menyebut keterlibatan perempuan sudah terakomodasi secara substansial, mulai dari Kongres Perempuan 1928, perjuangan perempuan di bidang diplomasi dan militer, hingga isu kekerasan dalam rumah tangga dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).
“Bahkan sejak awal penulisan hingga Mei 2025, kami sudah menggarap struktur narasi yang memberikan ruang besar pada kiprah perempuan Indonesia. Ini bukti bahwa kami justru memperkuat, bukan menghapus,” ujarnya.
Ajak Masyarakat Terlibat dalam Dialog Sejarah
Lebih lanjut, Fadli Zon mengajak masyarakat luas untuk tidak terjebak dalam narasi tunggal atau politisasi sejarah. Ia membuka ruang dialog publik dengan pendekatan inklusif dan berbasis partisipasi.
“Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tapi cermin tanggung jawab kolektif kita terhadap masa kini dan masa depan. Karena itu, mari membangun sejarah sebagai ruang pembelajaran, empati, dan pemersatu bangsa,” tutup Fadli.
Pernyataan Fadli ini membuka babak baru dalam wacana nasional soal pelurusan sejarah kelam negeri ini, sekaligus mengundang pertanyaan: apakah kita siap menelaah ulang masa lalu dengan kepala dingin dan pikiran terbuka? (Sumber: Rel Bobby OZ)