INformasinasional.com, LANGKAT – Gedung DPRD Langkat, Rabu (17/9/2025) siang hingga petang berubah seperti arena pertunjukan murka. Puluhan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Langkat mendobrak pagar kesabaran, menggedor pintu fraksi, bahkan mengancam menyegel gedung rakyat yang mereka anggap sudah lebih mirip kantor makelar proyek.
Sejak pukul 14.30 WIB, halaman gedung dewan dipenuhi teriakan mahasiswa. Mereka menuding para wakil rakyat tak lagi menjadi jembatan aspirasi, melainkan calo proyek yang rakus memelintir Pokok Pikiran (Pokir) hasil reses. “Rakyat ditipu, dana publik diputar jadi bisnis pribadi!” teriak Marzan Nainggolan, koordinator lapangan aksi, disambut orasi bergelombang dari Agung Tidio Sandi perwakilan mahasiswa IMM, M Syahbana dari PMII, M Wahyu Rhidoni dari Limapera, Thierry Fahrezi dari Permata, dan Agung Permana dari mahasiswa AMPP.
Wakil rakyat ditunggu-tunggu tak kunjung datang, baik pimpinan maupun anggota DPRD Langkat. Sejak awal orasi, gedung dewan sepi tanpa tuan rumah. Kekosongan itu seperti bensin disiram kebara amarah massa. Mereka mencoba merangsek masuk, Satpol PP dan polisi pun harus pasang badan. Dorong-dorongan pecah, situasi nyaris ricuh.
Baru setelah tensi meninggi, enam anggota dewan “penjaga gawang” muncul, mereka yakni Juriah (PDIP), H Arifuddin (Bintang Kebangkitan), Jul’aidi Syam (Gerindra), Elfa Susana (PAN), dan Wakil Ketua DPRD Romelta Ginting (PDIP). Mereka mencoba meredam dengan tawaran dialog. Tapi mahasiswa menolaknya mentah-mentah.
Yang terjadi berikutnya membuat gedung dewan kocar-kacir. Massa berbondong-bondong melakukan sweeping. Satu demi satu pintu fraksi digedor, ruangan kosong disisir, meninggalkan pesan sinis, 44 anggota DPRD absen, seolah memilih “bolos massal” ketimbang menghadapi mahasiswa.
Usai sweeping, mereka menduduki ruang depan Ketua DPRD Sribana Peganginangin. Orasi kembali menggelegar. “Hubungi ketua kalian! Jangan lari! Jangan sembunyi! Ingat, kalian bukan bos kami. Kalian hanya pelayan rakyat!” pekik seorang mahasiswa. Ancaman segel pintu fraksi hingga pintu utama pun terlontar, membuat wajah-wajah pengamanan kian tegang.
Setelah negosiasi alot, mahasiswa akhirnya bersedia duduk diruang paripurna. Tapi tuntutan mereka tak kalah panas dari api ban yang sempat membara dihalaman.
Hapus dana kunjungan kerja luar daerah yang tak lebih dari wisata politik.
Stop intervensi DPRD dalam pengerjaan Pokir yang mereka tuduh penuh nepotisme dan “anak main.”
Banggar DPRD wajib serius mengawal APBD, bukan jadi sekadar stempel proyek elite.
Putuskan keterlibatan DPRD dalam bancakan proyek dinas se-Langkat.
Tindaklanjuti tuntutan aksi 1 September ke DPR RI dan Kapolri, termasuk soal represifitas polisi dan pembebasan mahasiswa yang ditahan.
Meski diskusi akhirnya berlangsung, sinyal ketidakpercayaan jelas terpampang. Gedung yang mestinya rumah aspirasi, oleh mahasiswa justru dipandang sebagai sarang dagang sapi politik. Sweeping fraksi hingga ancaman segel hanya menegaskan jurang lebar antara rakyat dan wakilnya.(Misno)
