INformasinasional.com,Aceh Tamiang –Ditengah bau lumpur yang belum hilang dan jeritan warga yang masih bergaung dipengungsian, sebuah iring-iringan sederhana tapi mencolok muncul dijalanan Aceh Tamiang: sebuah mobil pikap tua, berdebu, melesat membawa Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem bersama tim medis Malaysia dan tumpukan obat-obatan.
Bukan rombongan mewah, bukan mobil dinas antipeluru. Yang terlihat hanyalah seorang gubernur duduk dibak belakang, masker menempel diwajah, memeluk kardus obat sambil mengguncang di jalan penuh lubang, seperti komandan lapangan di zona perang, bukan kepala daerah disebuah negara yang katanya tengah menggelontorkan bantuan besar.
Tim medis dari Blue Sky Rescue (BSR) Malaysia diterbangkan dari Banda Aceh memakai helikopter, sebelum dijemput Mualem dan digiring melalui rute darat yang sudah lama menyerah dihantam banjir.
Gerak cepat ini dilakukan karena banyak titik pengungsian berada di “wilayah hitam” area yang belum tersentuh bantuan nasional.
“Kita usahakan semaksimal mungkin. Apa yang rakyat butuhkan, kita sediakan,” tegas Mualem, Jumat (12/12/2025).
Dibelakang kalimat itu, tersimpan kritik samar: Aceh bergerak sendiri karena menunggu bantuan pusat justru membuang waktu.
Mualem membuka pintu lebar-lebar untuk bantuan internasional.
“Ini kemanusiaan. Kalau dari internasional mau membantu, kita terima,” katanya.
Pernyataan singkat namun menggigit ini terbaca sebagai kode keras bahwa Aceh mulai kehabisan tenaga. Situasi lapangan yang porak-poranda membuat suplai logistik tersendat, sementara jumlah korban terus bertambah.
Mualem mengungkap bahwa pemerintah pusat baru mulai menggelar rapat untuk membahas rumah sementara dan hunian permanen bagi para korban.
“Kita sudah duduk dengan para menteri dan presiden,” ujarnya.
Namun dilapangan, warga sudah hampir tiga minggu meringkuk di tenda-tenda yang mulai lapuk, ditemani bau banjir yang menyengat.
Rapat boleh maraton, tapi warga tetap menunggu bantuan yang tak kunjung menyentuh tanah.
Empat desa hilang seolah digulung tangan raksasa. Jalan-jalan patah, jembatan roboh, dan posko pengungsian menampung ribuan jiwa yang hidup dengan air bersih seadanya.
Aceh Tamiang adalah episentrum bencana Sumatera tapi terasa seperti episentrum keterlambatan.
Dalam situasi inilah, Mualem memilih turun langsung, bahkan dengan pikap yang biasanya dipakai mengangkut kelapa sawit. Sebuah simbol bahwa aparat daerah bergerak, meski negara tampak berjalan pincang.
Satu hal jelas, Banjir mungkin meruntuhkan rumah, tapi bukan keberanian. Dan di Aceh Tamiang hari ini, keberanian itu datang dengan deru mesin pikap yang membawa harapan dari Malaysia.(Misno)






Discussion about this post