INformasinasional.com-MEDAN. Krisis diam-diam tengah melanda industri perhotelan di Sumatera Utara. Kamis (24/4/2025), suasana haru terasa di ruang tunggu Kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro. Bukan sekadar menunggu giliran audiensi, para pelaku industri perhotelan—dari General Manager hotel-hotel ternama di Medan hingga pemilik penginapan di sekitar Kualanamu—berbagi keluh kesah tentang masa-masa paling sulit yang mereka hadapi sejak pandemi.
Penyebabnya jelas: kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, yang memangkas hampir seluruh kegiatan resmi di hotel-hotel. Akibatnya, omzet usaha anjlok tajam. Sementara itu, beban operasional seperti listrik, air, gaji karyawan, dan biaya perawatan tetap harus dibayar penuh. Opsi pemutusan hubungan kerja pun tak semudah membalikkan telapak tangan—karena beban pesangon yang besar dan nilai kemanusiaan yang dipertaruhkan.
“Dulu, satu hotel bisa menghabiskan hingga 100 ton ayam potong per minggu—diantar pakai mobil boks. Sekarang? Diantar pakai becak motor. Itu pun masih sisa,” ungkap seorang General Manager hotel dengan nada getir. Bukan sekadar statistik bisnis, pernyataan ini menggambarkan retaknya mata rantai ekonomi lokal—dari peternak ayam, jasa distribusi, hingga UMKM penyedia bahan baku.
[irp posts=”39564″ ]
Benny Yudi Purnama dari KOGANA Sumut yang turut hadir bersama Dr. Sujat Harto, mantan Kepala Crisis Centre Sumut, menyebut kondisi ini sebagai “efek domino kebijakan teknokratis”. Di atas kertas, efisiensi anggaran tampak logis, tapi di lapangan, ribuan pekerja terdampak dan ratusan bisnis kecil ikut tergilas.
“Mereka ini penyumbang besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi saat ini, seolah tak ada satu pun kebijakan yang berpihak pada kelangsungan usaha mereka,” kata Benny. Ia mendorong agar pelaku usaha berani bersuara lebih lantang melalui forum publik dan dialog kebijakan.
Keluhan dan aspirasi sejatinya telah disampaikan ke DPRD. Namun para pelaku usaha mengaku belum melihat langkah konkret dari legislatif. “Kami hanya ingin kegiatan pemerintah di hotel bisa kembali seperti dulu. Itu saja,” ujar salah satu dari mereka, singkat namun penuh harap.
Kritik tajam juga diarahkan pada DPRD yang dinilai tak lagi menjalankan fungsi kontrol secara serius. “Legislatif kini cenderung ABS—asal bos senang,” sindir Benny.
Pertemuan itu berakhir dengan penyerahan surat resmi ke Biro Umum Pemprov Sumut. Namun suasana tidak langsung mereda. Benny dan para koleganya berdiri termenung, memikirkan masa depan industri yang selama ini menopang pariwisata dan ekonomi lokal. “Sakit tapi tak berdarah,” gumamnya lirih—sebuah metafora pilu tentang penderitaan yang tak terlihat mata.
Ia menutup harinya dengan satu harapan: “Semoga jeritan ini tidak berhenti di ruang tunggu. Kami butuh kebijakan yang punya nurani. Kami butuh pemerintah yang hadir.”(Misno Adi)