RAKYAT kecil semakin kehabisan napas. Mereka yang berjuang hidup dengan gaji pas-pasan, bahkan sekadar untuk membeli beras dan minyak goreng, kini kembali terancam menjadi tumbal kebijakan fiskal negara. Ironis, kaum papa dipaksa ikut menanggung dosa utang yang tak pernah mereka nikmati manfaatnya.
Jeritan publik menggema, “Jangan bebankan rakyat miskin dengan pajak untuk bayar utang negara!” Sebab dibalik angka-angka dineraca keuangan, tersembunyi catatan gelap. Triliunan rupiah utang luar negeri yang diwariskan selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo.
Diatas kertas, utang itu kerap dijual dengan jargon pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, hingga rel kereta api. Namun faktanya, sebagian tak lebih dari proyek setengah jadi yang kini membusuk dilapangan.
Contoh paling telanjang, rel kereta Binjai–Aceh. Dibangun dengan biaya triliunan rupiah, proyek ini kini berhenti ditengah jalan. Rel yang sempat terpasang sudah porak poranda dengan besi penjepit yang raib digasak ‘Rayap Besi’. Tak ada manfaat ekonomi yang mengalir kerakyat. Yang tersisa hanya angka merah dilaporan keuangan negara.
Fenomena serupa terjadi diberbagai daerah, jembatan tanpa akses jalan, bandara tanpa penumpang, hingga gedung pemerintahan kosong. Semua itu tetap harus dibayar bunganya lewat utang luar negeri. Dan kini, siapa yang dipanggil untuk menutupinya? Ya, rakyat.
Janji Manis Menteri Keuangan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencoba menenangkan publik. Dalam rapat kerja virtual bersama DPD RI, Rabu 3 September 2025, ia menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak maupun membuat pajak baru pada 2026.
Namun disisi lain, target pendapatan negara justru melonjak tajam naik 9,8 persen menjadi Rp 3.147,7 triliun. Dari jumlah itu, penerimaan pajak dipatok Rp 2.357,7 triliun, alias naik 13,5 persen dibanding tahun ini.
“Pajak tetap sama. Tidak ada yang baru. Kami hanya meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” kata Sri Mulyani.
Kalimat itu terdengar menenangkan dipermukaan. Tapi implikasinya menohok, target tinggi tanpa sumber baru berarti peras keringat wajib pajak lama, baik perusahaan maupun individu.
Sri Mulyani menyebut semua ini sebagai “azas gotong royong.” Ia mencontohkan, UMKM dengan omzet dibawah Rp 500 juta bebas PPh, sementara yang beromzet hingga Rp 4,8 miliar hanya dikenai tarif final 0,5 persen. Masyarakat berpenghasilan dibawah Rp 60 juta per tahun pun dijanjikan bebas pajak.
Tapi kritik bermunculan, gotong royong macam apa bila rakyat kecil tetap dipanggil menutup borok fiskal masa lalu? Gotong royong sejati mestinya adil. Yang berutang adalah elite politik yang gemar mengobral proyek demi citra pembangunan, lalu kabur meninggalkan beban kepada generasi berikutnya.
Disini, penulis menyindir tajam. “Ini bukan gotong royong, tapi gotong kerugian. Rakyat miskin disuruh ikut pikul, sementara mereka tak pernah diajak menikmati hasil utang itu.”
Kritik yang paling pedas membandingkan praktik ini dengan kolonialisme era Belanda. Dulu, rakyat Nusantara dipaksa menanam kopi dan tebu demi mengisi kas VOC. Kini, rakyat dipaksa menanam pajak demi menutup lubang utang yang ditinggalkan rezim pembangunan mercusuar.
“Kalau Belanda dulu kapitalis asing, kini kapitalisnya justru wajah bangsa sendiri”
Fakta dimeja Sri Mulyani memang mengkhawatirkan. Rasio utang terhadap PDB mendekati ambang batas 40 persen. Bunga utang setiap tahun menelan lebih dari Rp 400 triliun, angka yang lebih besar dari anggaran pendidikan tinggi. Dengan tren target pajak yang semakin tinggi, tekanan pada kelas menengah dan kecil kian tak terelakkan.
Pertanyaannya, sampai kapan rakyat harus jadi korban kebijakan tambal-sulam? Apakah APBN 2026 hanya akan jadi mesin peras pajak untuk menutup utang, alih-alih menjadi instrumen kesejahteraan rakyat?
Pemerintah memang berjanji memperbaiki administrasi perpajakan, membangun Coretax, dan menyamaratakan perlakuan transaksi digital dengan non-digital. Tapi janji itu tak akan menjawab pertanyaan utama, mengapa rakyat harus menanggung dosa fiskal akibat kegagalan manajemen pemerintahan sebelumnya?
Dalam bahasa sederhana jangan jadikan rakyat miskin kambing hitam untuk menebus dosa utang negara. Sebab bila terus dipaksa, sejarah bisa berulang, perlawanan lahir dari perut yang lapar. Dan kali ini, musuhnya bukan Belanda, melainkan negara yang mestinya melindungi.
(Penulis: Pemimpin Redaksi)*