INformasinasional.com, JAKARTA – Dunia maya kembali menunjukkan wajah liarnya. Dibalik layar ponsel, dari unggahan singkat di Instagram hingga status receh di Facebook, beredar racikan narasi provokatif yang dirancang untuk menyulut amarah publik. Polisi menyebutnya sebagai “seruan digital yang bertransformasi menjadi bara jalanan.” Kini, tujuh akun dan pemiliknya sudah terseret kemeja penyidik, namun aroma jejaring yang lebih besar masih tercium samar.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Himawan Bayu Aji, menyampaikan kronologi dengan suara datar tapi tegas. “Ini bukan sekadar opini. Ada manipulasi, ada rekayasa, ada ajakan yang jelas-jelas memenuhi unsur pidana,” ujarnya dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Rabu (3/9/2025). Pernyataan itu menutup daftar panjang patroli siber yang berhasil menutup 592 akun provokatif.
Kasus paling mencolok adalah milik akun @bekasi_menggugat dan Aliansi Mahasiswa Penggugat. Ditangan dua adminnya, WH (31) dan KA (24), sebuah pernyataan resmi Ketua KSPI Said Iqbal dipelintir. Kalimat larangan pelajar ikut demo buruh berubah menjadi ajakan turun ke jalan. Satu kata diubah, makna dibalikkan, lalu ribuan orang terprovokasi. Polisi menyebut ini sebagai contoh “seni manipulasi digital” yang menyesatkan.
Tak kalah ekstrem, Laras Faizati Khairunnisa (26), pemilik akun Instagram @larasfaizati, justru terang-terangan menyerukan pembakaran Mabes Polri. Unggahannya bukan hanya bernada kebencian, tapi dilengkapi visual lokasi aksi, seolah-olah memberikan “peta serangan” untuk massa. Dari tangannya, aparat menyita sebuah ponsel dan akun Instagram yang kini dilucuti.
Kasus berikutnya melibatkan CS (30), pengguna TikTok @cecepmunich, yang memprovokasi massa untuk mengalihkan unjuk rasa ke Bandara Soekarno-Hatta. Seruan itu dianggap berpotensi melumpuhkan obyek vital nasional.
Lebih gila lagi, IS (39) dengan akun TikTok @hs02775 menyerukan penjarahan ke rumah pejabat dan tokoh publik. Mulai dari Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Puan Maharani. “Visualisasinya jelas, ajakan penjarahan itu ditulis gamblang, bukan sekadar kritik,” tegas Himawan.
Diranah Facebook, polisi membekuk pasangan suami-istri: SB (35) dan G (20). Dengan akun Nannu dan Bambu Runcing, mereka menyebar konten hasutan digrup-grup besar dengan puluhan ribu anggota. Dari Jual Beli Cilincing, Koja, Merunda hingga Loker Daerah Sunter, narasi provokatif disisipkan disela-sela postingan jual beli barang bekas.
SB disebut lebih berbahaya. Ia admin grup WhatsApp Kopi Hitam, yang kemudian berganti nama menjadi BEM RI, lalu ACAB 1312. Grup berisi 192 anggota itu menjadi ruang koordinasi senyap untuk menyerukan gerakan mendatangi rumah politisi. Polisi menilai, pola pergantian nama grup adalah cara mengaburkan jejak dari mata-mata digital aparat.
Aroma Jaringan Lebih Besar
Meski tujuh orang sudah dijerat, benang merah kasus ini belum sepenuhnya terurai. Dari manipulasi teks, ajakan bakar gedung, hingga seruan penjarahan, tampak pola orkestrasi yang lebih besar. Seruan provokasi menyasar titik-titik strategis: Mabes Polri, Bandara Soekarno-Hatta, rumah pejabat, bahkan kantor polisi.
Pertanyaan pun menggantung: apakah tujuh orang ini sekadar “pemain pinggiran” yang nekat, atau pion dari jaringan yang lebih besar? Dari grup WhatsApp hingga komunitas Facebook, jejak digital mereka menunjukkan adanya pola koordinasi, bukan sekadar unggahan liar.
Brigjen Himawan hanya memberi sinyal samar. “Kami masih mendalami. Ada indikasi jejaring, dan ini tidak berhenti di tujuh orang,” katanya.
Kasus ini membuka perdebatan panjang soal batas tipis antara kebebasan berekspresi dan hasutan kriminal. Disatu sisi, media sosial dianggap ruang terbuka untuk kritik. Namun disisi lain, jempol-jempol yang menari dilayar bisa berubah menjadi komando digital yang menggiring massa.
Kini, tujuh orang sudah dijerat. Ponsel mereka disita, akun mereka diputus, dan jejak digital mereka ditelusuri. Namun, dilorong gelap media sosial, akun-akun bayangan lain masih berkeliaran, menunggu momen untuk kembali melemparkan percikan.
Polri boleh saja mengklaim kemenangan kecil. Tetapi publik sadar, perang sesungguhnya masih berlangsung dijagat maya: ruang tanpa pagar, tanpa batas, dimana siapa pun bisa menjadi provokator, atau korban.”(Misno)






Discussion about this post