INformasinasional.com, LANGKAT – Bau busuk dugaan korupsi pengadaan 312 unit SMARTboard senilai Rp 49,9 miliar di Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat kian menyengat. Penyelidikan yang dimulai Kejaksaan Negeri Langkat sejak Juni 2025 lalu, kini menyeret nama Supriadi selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) yang disebut-sebut sebagai otak lapangan proyek berteknologi tinggi tersebut.
Berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: PRINT-02/L.2.25.4/Fd.1/06/2025, tim penyidik Kejari bergerak cepat memanggil saksi dari kalangan ASN Disdik, BPKAD, hingga pihak swasta rekanan penyedia barang.
Kasi Intelijen Kejari Langkat, Ika Lius Nardo SH MH, menegaskan pihaknya tidak main-main.
“Kami masih mengumpulkan keterangan dan bukti. Termasuk mendalami peran PPK dalam transaksi e-katalog. Ini prioritas,” katanya, Senin (11/8/2025).
Supriadi sendiri sempat mangkir dari panggilan pertama. Namun pada Rabu (30/7/2025), ia akhirnya hadir dikantor Kejari untuk diperiksa. Meski demikian, sikapnya dinilai tidak kooperatif.

Dari penelusuran awak INformasinasional.com, Supriadi dikenal licin, kerap menyangkal peran, bahkan mengaku bukan PPK dan tidak pernah menandatangani berita acara apapun. Namun, sumber internal Disdik Langkat yang enggan disebutkan namanya membantah keras pernyataan itu.
“Akun e-katalog LKPP yang digunakan adalah akun dia. Transaksi itu terekam jelas disistem. Bukti ada dilaptop dia. Kalau perlu, kejaksaan lakukan digital forensik,” tegas sumber di Disdik Langkat, Senin (11/8/2025).
Sumber yang sama juga menyebut Supriadi kerap berkomunikasi intens dengan pihak penyedia, termasuk dilokasi-lokasi tertentu seperti Hotel JW Marriott, Medan. Bahkan, ia diduga menerima suap dan gratifikasi, salah satunya tiket umroh pada September 2024, hanya beberapa hari setelah ia menekan tombol pembelian SMARTboard di e-katalog.
“Itu jelas fasilitas dari penyedia. Waktunya terlalu kebetulan,” ujar sumber.
Empat unit ‘nyasar’ ke sekolah milik sendiri
Skandal ini makin memanas setelah Wakil Ketua DPRD Langkat, Romelta Ginting SE (Fraksi PDI Perjuangan), angkat bicara, terkait adanya empat unit SMARTboard senilai lebih dari Rp 632 juta yang justru mendarat di SMPS Tunas Mandiri, sekolah swasta di Desa Suka Maju, Kecamatan Tanjung Pura. Fakta mencengangkan, sekolah ini disebut-sebut milik Supriadi sendiri dan dikelola istrinya sebagai Kepala Yayasan.
“Ini jelas pelanggaran. SMARTboard itu belanja modal, bukan hibah. Barang milik daerah tidak boleh dikuasai swasta,” tegas Romelta, Jumat (8/8/2025).
Menurut Romelta, praktik ini melanggar Permendagri Nomor 13 Tahun 2018 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, bahkan menimbulkan rekayasa angka di laporan keuangan daerah. Jika 12 unit saja diberikan ke pihak swasta, maka Laporan Realisasi Anggaran (LRA) belanja modal akan lebih saji Rp 1,9 miliar.
Romelta menuntut Inspektorat dan Pemkab Langkat segera menginventarisasi dan menarik kembali seluruh unit yang disalurkan ke pihak swasta.
“Empat unit disekolah swasta itu tidak wajar. Tarik segera! Ini sudah masuk ranah hukum. Jangan tunggu masyarakat marah,” katanya.
Ironisnya, Nanang Hadi Irawan, Irban III Inspektorat Langkat, mengaku baru mengetahui kasus ini dari wartawan. Meski begitu, ia mengakui aturan tegas melarang belanja modal diberikan ke pihak ketiga.
“Itu bisa jadi temuan. Kategorinya belanja barang yang diserahkan ke pihak ketiga,” katanya, Kamis (7/8/2025).
Pemeriksaan maraton, 18 saksi di-BAP
Hingga akhir Juli 2025, penyidik telah memeriksa 18 saksi dari kalangan ASN dan pihak swasta. Pemeriksaan dilakukan maraton untuk mengurai dugaan kerugian negara yang nilainya diyakini mencapai miliaran rupiah.
Proyek pengadaan SMARTboard ini memang janggal sejak awal. Spesifikasi yang dipilih adalah Viewsonic VS18472 75 Inch Paket 1 seharga Rp 158 juta per unit, plus ongkos kirim Rp 620 juta. Perusahaan penyedia yang ditunjuk, PT Gunung Emas Ekaputra dan PT Global Harapan Nawasena, hanyalah agen yang memasarkan produk di bawah lisensi PT Galva Technologies Tbk.
Kasus ini sudah menjadi bahan obrolan hangat di warung kopi hingga grup WhatsApp warga Langkat. Proyek pendidikan yang seharusnya mendorong mutu pembelajaran malah dicurigai sebagai pesta pora anggaran untuk segelintir orang.
Kini, publik mengarahkan pendengaran ke Kejari Langkat, apakah ia akan membongkar jaringan yang bermain dibalik proyek ini, atau sekadar mempertontonkan taring sebelum duduk dimeja negosiasi gelap?
Satu hal pasti, warga Langkat sudah muak dengan drama korupsi yang berakhir antiklimaks. Mereka menuntut pengungkapan total, penarikan barang, pengembalian uang, dan hukuman setimpal bagi siapa pun yang terbukti menggerogoti anggaran pendidikan anak-anak.(Misno)