INformasinasional.com, Langkat —
Banjir tak hanya merobohkan dinding dan menghanyutkan perabot. Ia juga menghantam sesuatu yang lebih rapuh namun vital, masa depan anak-anak. Disejumlah wilayah Sumatra. Aceh, Sumatra Barat, hingga Sumatra Utara, bencana air ini memaksa dunia pendidikan berhenti mendadak, tercekik lumpur dan genangan yang tak kunjung surut.
Di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, luka itu tampak telanjang. Sedikitnya 210 sekolah dasar dan lebih dari 150 PAUD/TK rusak diterjang banjir. Selama lebih dari dua pekan, air menggenang, menyusup keruang kelas, menenggelamkan buku, alat peraga, hingga bangku-bangku belajar. Ketika air perlahan mundur, yang tertinggal adalah lumpur, puing, dan kelelahan.
Warga memang mulai kembali dari pengungsian. Tapi pulang bukan berarti pulih. Rumah-rumah bekas rendaman harus dibersihkan, perabot disingkirkan, dan kehidupan disusun ulang dari nol. Disekolah, nasib serupa menunggu.
Para guru tak menunggu aba-aba. Dengan sapu ditangan dan lumpur setinggi mata kaki, mereka membersihkan ruang kelas yang porak-poranda. Tak ada seragam rapi. Tak ada papan tulis bersih. Yang ada hanyalah peluh dan tekad agar sekolah tak berubah menjadi bangunan mati.
“Bencana boleh datang, tapi pendidikan tidak boleh berhenti,” ujar Dewi, guru PAUD Al Farizd, Kamis, 17 Desember 2025, di sela-sela membersihkan ruang kelasnya yang nyaris lumpuh total. Hampir seluruh alat peraga, buku, dan mebel sekolah rusak berat. “Kami bersihkan apa yang tersisa. Yang penting anak-anak bisa kembali belajar.”
Bangku dan meja hancur. Solusinya darurat, tikar bantuan BPBD digelar sebagai alas duduk. Sekolah darurat, dengan semangat yang juga darurat.
Saat banjir melanda, Dewi dan rekan-rekannya sempat berkomunikasi dengan Bunda PAUD Kabupaten Langkat, Ny Endang Kurniasih Syahafandin SH. Pesannya singkat, tapi menguatkan, guru diminta tetap bersemangat, tidak kendor, dan menjadikan bencana sebagai ujian bersama. Pemerintah daerah, kata Endang, berjanji mendukung pemulihan, termasuk perbaikan infrastruktur dan pengadaan kembali mebel sekolah yang rusak.
“Kalimat singkat itu sangat berarti bagi kami,” kata Dewi.
Pemerintah Kabupaten Langkat sendiri memperpanjang masa tanggap darurat selama tujuh hari ke depan. Koordinasi lintas sektor terus digerakkan. Ditengah riuh kritik dan sorotan, satu hal patut dicatat, komunikasi dan kolaborasi menjadi kata kunci penanganan bencana kali ini.
Namun pekerjaan rumah belum selesai. Lebih dari sekadar memperbaiki bangunan, pendidikan harus segera dipulihkan sebagai penyangga psikologis anak-anak. Sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi juga ruang aman untuk menyembuhkan trauma.
Larut dalam duka adalah kemewahan yang tak dimiliki daerah rawan bencana. Langkat, tanah para pejuang, dipaksa kembali membuktikan daya tahannya. Banjir boleh merusak, tapi menyerah bukan pilihan.
(Z Lubis)






Discussion about this post