INformasinasional.com, JAKARTA – Cahaya lembut lentera teratai memancar di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Minggu (6/7/2025), menyelimuti prosesi Indonesia Tipitaka Chanting & Asalha Mahapuja 2569/2025 dengan nuansa spiritual yang mendalam. Siapa sangka, lentera-lentera indah yang menjadi simbol kebajikan itu lahir dari tangan-tangan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang.
Keterlibatan hasil karya warga binaan ini bukan sekadar memperindah rangkaian acara keagamaan berskala nasional tersebut. Ia menjadi metafora kuat tentang harapan, perubahan, dan keberhasilan pembinaan yang menembus batas tembok pemasyarakatan.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Buddha Kementerian Agama RI, Supriyadi, mengaku terkesan dengan keindahan lentera yang menyala di tengah prosesi malam itu. Baginya, setiap cahaya yang berpendar adalah bukti bahwa nilai-nilai Dhamma dan kemanusiaan tetap hidup, bahkan di balik jeruji besi.
“Suasana malam prosesi begitu indah dan khidmat. Cahaya lentera teratai yang dibawa para peserta memancarkan nuansa spiritual yang menyentuh hati. Yang membuat saya lebih terharu, seluruh perlengkapan tersebut merupakan karya Warga Binaan Lapas Cipinang. Ini simbol bahwa harapan dan cahaya kebajikan masih menyala dari balik tembok pemasyarakatan,” kata Supriyadi, Selasa (8/7/2025).
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada jajaran Lapas Cipinang serta para pembina rohani yang telah mendampingi warga binaan hingga mampu menghasilkan karya sarat makna tersebut.
Kalapas Kelas I Cipinang, Wachid Wibowo, menegaskan bahwa pembinaan di Lapas Cipinang bukan hanya berfokus pada keterampilan teknis, tetapi juga menyentuh aspek batiniah dan spiritual warga binaan.
“Lentera ini menjadi simbol bahwa dari balik jeruji, cahaya harapan tetap bisa lahir. Pembinaan kami diarahkan tidak hanya untuk membentuk keterampilan, tetapi juga memperkuat akhlak, batin, dan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
Kepala Bidang Pembinaan, Iwan Setiawan, menambahkan bahwa keterlibatan karya warga binaan dalam prosesi ini adalah bagian dari program pembinaan ekspresif berbasis nilai yang diterapkan di Lapas Cipinang. Pendekatan holistik ini menyatukan seni, spiritualitas, dan pembentukan karakter agar para warga binaan mampu menemukan kembali jati diri mereka sebagai insan yang bernilai di tengah masyarakat.
Karya lentera ini bukan hanya hasil seni. Ia adalah metafora hidup tentang perjalanan batin para warga binaan. Dari balik jeruji, mereka mengukir makna kebebasan dalam wujud cahaya yang kini menyala di altar suci Borobudur. Lentera-lentera itu seakan berbisik kepada dunia: di balik tembok yang membatasi fisik, harapan tak pernah bisa dipenjara.
Kegiatan ini sekaligus menjadi refleksi tentang makna pemasyarakatan yang sesungguhnya—mengembalikan manusia pada nilai luhur dan memberi mereka kesempatan kedua untuk menyalakan cahaya dalam gelap.(Ragil Surono/Rel)