INformasinasional.com, LANGKAT – Sebatang pohon rambung mati yang dibiarkan tegak ditepi jalan menjelma jadi pembunuh senyap. Tanpa aba-aba, batang lapuk itu runtuh, menghantam keras tubuh seorang pemuda yang tengah melintas. Seketika, nyawa Taufiq Huda Alhabibi, mahasiswa teknik Universitas Malikussaleh Nanggroe Aceh Darussalam, sekaligus kader terbaik Himpunan Mahasiswa Langkat (Himala), melayang sia-sia.
Ironisnya, tragedi ini bukan sekadar kutukan alam. Pohon rambung itu sudah lama kering, lapuk, dan condong kejalan. Warga sekitar tahu betul keberadaannya bagai bom waktu. Tapi manajemen PT Darsum, pemilik lahan perkebunan rambung tersebut, memilih bungkam. Tak ada tindakan, tak ada antisipasi. Seolah batang rapuh itu hanyalah masalah sepele. Hingga malapetaka benar-benar datang, dan seorang anak muda kehilangan masa depannya.
Yang lebih menyakitkan, selepas tragedi, perusahaan justru seolah mengunci pintu empati. Tak ada satupun utusan resmi, apalagi pernyataan maaf atau sekadar belasungkawa. PT Darsum bersikap dingin, seperti angin lalu, seakan nyawa manusia tak lebih berarti dibanding batang karet mati yang mereka biarkan membusuk.
Ketua Presidium Himala, Wahyu Hidayah, murka. Dengan suara bergetar menahan amarah, ia berkata, “Kami kehilangan kader terbaik. Kehilangan ini memang bagian dari takdir, tapi jangan tutupi fakta bahwa ada kelalaian. Ada sebab-akibat yang jelas. Nyawa melayang karena pembiaran.”
Himala menilai PT Darsum harus bertanggung jawab penuh. Mereka mendesak pemerintah Kabupaten Langkat turun tangan mengaudit kepatuhan perkebunan, terutama terkait jarak tanam pohon dengan badan jalan. Jika terbukti menyalahi aturan, Wahyu menegaskan, tak ada pilihan lain selain pencabutan izin operasional perusahaan.
“Ini bukan sekadar persoalan dahan jatuh atau pohon rebah. Ini soal kelalaian yang merenggut nyawa. Dan hukum tidak boleh tunduk pada modal,” ujar Wahyu.
Dasar hukum berpihak pada korban. Peraturan Menteri PU Nomor 09/PRT/M/2011, Permentan Nomor 132/2023, hingga Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 menyatakan jelas: bila pohon tumbang akibat kelalaian, pemilik lahan wajib mengganti rugi. “PT Darsum tak bisa berkelit. Mereka harus bertanggung jawab, tidak hanya secara moral, tapi juga secara hukum,” kata Wahyu, tegas.
Tak berhenti disitu, Himala akan menggandeng pakar hukum dan Lembaga Bantuan Hukum untuk mengajukan gugatan. Tuntutan mereka terang benderang, kompensasi bagi keluarga korban, permintaan maaf terbuka kepada publik, serta jaminan bahwa kejadian serupa tak lagi terulang. “Kami akan bawa ini sampai meja hijau. Nyawa manusia tidak boleh dipermainkan oleh kelalaian perusahaan,” kata Wahyu, aktivis muda berkacamata yang kini bersuara lantang menantang kuasa modal.
Tragedi ini menampar kesadaran publik: betapa lemahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan besar di Langkat. Pemerintah daerah seolah membiarkan mereka beroperasi tanpa kontrol ketat, meski risikonya bisa berujung maut bagi masyarakat sekitar. Pohon rambung mati yang dibiarkan berdiri itu kini bukan hanya merobohkan satu nyawa, tapi juga meruntuhkan citra perusahaan pemiliknya.
Dan pertanyaan yang menggantung: berapa lama lagi masyarakat harus menunggu sebelum sebuah izin usaha benar-benar berpihak pada keselamatan manusia, bukan sekadar keuntungan perusahaan.
(M Z Lubis)